Yang kukenali dulu
Rupa hilang seri
Manakah manisnya
Kau tidak seperti dulu
Yang kukenali dulu
Madah tak berlagu
Manakah girangnya”
Malam ini, hujan turun satu demi satu. Tetes-tetesnya
membawa senyap yang syahdu. Nada-nada dari penyanyi nasyid asal negeri Jiran,
Saujana, mengalun bergema di langit-langit kamarku. Aku duduk di sisi jendela
kamar sembari memperhatikan nyanyian ritmis air hujan yang turun dari langit
kelam.
Aku teringat kamu, Pelangiku. Mungkin saat ini, lagu Saujana
ini tepat kunyanyikan untukmu seandainya saja kau berada dekat dengaku. Aku ingin
menyanyikan ini dengan suara falsku, tak apa, siapa tahu kau akan tertawa
mendengarkan aku bernyanyi dengan suara yang dipaksakan, bukan?
Sejak mendengarkan kisahmu beberapa waktu yang lalu,
juga kelanjutannya yang baru kau ceritakan padaku pagi tadi, rasanya aku ingin
sekali berada di sana. Memelukmu erat sebagai kakak dan sahabat, yang meski
mungkin tak bisa menjadi penyemangat atau penyembuh luka, setidaknya aku bisa
mendengarkanmu dengan setia hingga kau lelah sehingga sesak yang kau pendam
akan sedikit demi sedikit berkurang.
Luka?
Ya. Aku tahu, bagaimanapun akhirnya, kisah yang kau alami
tetap menoreh luka. Cinta yang kau anggap akan menjadi pelabuhan terakhir,
kandas begitu saja untuk ke sekian kalinya. Sementara, cinta itu telah
menggoyahkan keteguhan hatimu yang dulu sempat bertahan untuk tidak ingin
mengenal cinta sebelum tepat pada waktunya. Pertahananmu menjaga hati hanya
untuk cinta yang halal bagi manusia di mata Allah, luruh begitu saja tersebab
dia yang mendatangimu dengan pesona dan janji-janji untuk membawa cinta ke
tempat di mana cinta mendapat pengakuan negara dan agama, pernikahan.
Apalah daya, semua kandas begitu saja. Sementara cinta sudah
terlanjur tercipta.
Tidakkah cinta itu anugrah? Mengapa kehadirannya justru
membawa luka? Sehingga cinta selalu dikaitkan dengan patah hati, musibah,
trauma dan segala perasaan menyakitkan lainnya. Apakah itu patut disebut cinta,
jika hanya mencipta raut galau berkepanjangan?
Sementara itu, seperti pada lirik lagu Saujana tadi. Kutemukan
dirimu tak lagi seperti dulu. Cinta yang kau banggakan itu, telah
merenggut ceriamu. Hari-harimu yang dulu penuh semangat dan berseri-seri, kini
seolah hilang dan berganti dengan raut masam lagi murung. Pelangi yang dulu merona
dengan warna-warninya, kini seolah tinggal kelabu. Bagaimana bisa cinta
mengubahmu sedemikian rupa, bukan ke arah yang baik namun justru sebaliknya? Bukankah
cinta itu indah, katanya?
****
“Langitku, aku harus move on.”
Pesan singkat itu kuterima darimu sepagi ini. Kau kisahkan
kembali perjalanan hati yang sempat menyurutkan
langkahmu untuk tegar di jalan hijrah, kau kembali ingin meninggalkan cinta
yang belum saatnya.
“Kamu pasti bisa, Pelangi. Terus dekati mereka yang
berkontribusi dengan jalan hijrahmu, aku hanya mampu berdoa semoga hatimu
dikuatkan, diluluskan dari ujian perasaan yang kini sedang menimpamu.” Balasku singkat.
Kepadamu, Allah. Pemilik segala cinta yang berisi kebaikan
di dalamnya, cinta yang kau ridhoi, yang positif membawa perubahan keimanan,
dekatkanlah cinta itu kepada kami. Aku tak bisa menyalahkanmu, sebagai Maha
Pencipta segala yang ada di muka bumi, kau menciptakan perasaan cinta ini bukan
untuk menyakiti setiap hati yang tak mampu mengelak saat ada perasaan asing
hadir menghinggapi. Sejatinya, kehidupan memang memerlukan keseimbangan.
Perasaan cinta yang fitrah sebagai lawan dari cinta yang jatuh bukan pada
tempatnya, seringkali Kau menunjukkan kasihMu lewat kesakitan akan cinta yang
salah, yang tak sesuai dengan kriteria cinta positif seperti yang kau siratkan
dalam firman-Mu.
Aku ingin bertahan dalam segenap pemahaman tentang cinta
yang sesungguhnya, bahwa cinta yang benar adalah yang menggerakkan hatiku untuk
mendekati-Mu, bukan sebaliknya. Cinta yang benar adalah cinta yang meningkatkan
kecintaanku pada-Mu, bukan justru membuatku semakin menjauhi-Mu.