Jumat, 17 November 2017

Senandung Doa

Bayangan gadis manis berambut sebahu itu tak bosannya datang di malam-malam panjang, menghiasi dinding-dinding kamarku dengan senyumnya yang menggoda pelupuk mata. Tinggallah aku menghabiskan malam dengan guratan-guratan kenangan yang silih berganti datang tanpa diminta.
Makhluk apakah yang biasa orang-orang sebut cinta itu? Monster menyeramkan yang mematikan senyumku perlahan. Bagaimana bisa kubiarkan hati ini lemah dengan segala tentangnya? Dan bagaimanalah ini, mengapa cinta yang harusnya membawa kebahagiaan justru kini terasa menyakitkan? Ahh, entahlah, mungkin aku terlalu mendayu sehingga perasaan sedih saja yang selalu terbawa di setiap penghujung malam penuh imaji seperti saat ini.


Adit menutup layar laptopnya asal, tak peduli apakah tulisannya kali ini tersimpan rapi di file dokumen seperti yang selalu ia lakukan setiap kali selesai menulis.  Baginya, menulis adalah cara yang paling singkat untuk membuang jauh apa yang sedang bergelayut dalam hati dan fikirannya. 

Biasanya, cara itu selalu bisa mengusir penat dan membuat perasaannya lebih baik, namun kali ini lelah yang ia rasakan begitu mendera. Entah mengapa jemarinya tak mampu bekerjasama, bayang-bayang gadis itu tak hanya mengitari ruang kepala dan hatinya, namun mulai memprovokasi jemarinya untuk tidak mampu berhenti mengeja huruf demi huruf yang melulu berkisah tentangnya.



Lelaki itu menghempaskan tubuhnya di pembaringan, memejam dan menghela nafas, menyerah pada alam bawah sadarnya yang menuntut untuk mengistirahatkan semua indera. Besok adalah hari yang ditunggu olehnya, ia telah menyiapkan segalanya untuk gadis berambut sebahu kesayangannya.

***
 “Adit, kamu mau ajak aku kemana?” Gadis itu tersenyum manis sekali sembari mengerlingkan mata, selalu saja ada yang Adit lakukan untuk membuat hatinya berdetak lebih kencang.
“Sebentar lagi kau akan tahu,  Nay.” Ujar lelaki itu sambil menggamit lengan Nayla`
Lelaki itu membawa Nayla ke sebuah taman yang berada di belakang kampus. Tepat ketika langkah mereka sampai di sebuah bangku yang terbuat dari kayu di taman tersebut, segerombolan anak kecil datang dengan rangkaian bunga, kue ulang tahun dan alunan musik riang.
Adit tersenyum seraya berkata, “Selamat ulang tahun, Nayla”.
Nayla yang tak menyangka akan mendapat kejutan semanis itu, hanya mampu menutupi rasa terkejutnya dengan raut bahagia yang tak mampu ia sembunyikan.
“Kau selalu penuh kejutan, Adit”.
Nayla terdiam cukup lama memperhatikan helai demi helai kelopak bunga yang kini berada di genggamannya. Ia berusaha menata hatinya yang semakin tak menentu. Ingin rasanya ia melontarkan tanya yang telah lama bergelayut di fikirannya. Tentang sebuah perasaan yang telah lama ia simpan rapi di sudut hatinya, perasaan yang semakin lama semakin menuntut balas.

“Nay..”
“Nay, kamu baik-baik saja?”
“Eh..Iya dit, kenapa?”
“Kamu lho yang kenapa, kok tiba-tiba bengong gitu..”
“Hehehehe, enggak dit. Aku Cuma mikir aja, untuk apa kamu melakukan semua ini?”
Adit menyernyitkan mata, tak mengerti.
“Maksud aku, kamu selalu punya cara untuk bikin aku terkesan, bikin aku bahagia.” Nayla salah tingkah, tak tahu apakah kalimat yang dipilihnya itu tepat untuk saat ini
“Aku enggak tahu. Aku hanya ingin saja melakukan ini untukmu”. Adit balas tersenyum manis, sedetik kemudian menundukkan pandang kearah ujung sepatunya yang bergerak-gerak.
“Kita pulang yuk, Nay. Udah sore”
Sejenak Nayla terdiam, ada raut kecewa yang ia sembunyikan namun ia tetap mencoba tersenyum. Keduanya lalu berjalan meninggalkan bangku taman yang kini kosong. Sekosong dua hati yang beberapa menit lalu mendudukinya.
***
Suara dering telepon yang berisik di pagi itu membangunkan Nayla dari tidur, membuyarkan mimpi yang tak ingin dilepasnya begitu saja. Seolah malas untuk meninggalkan tempat tidurnya, Nayla justru semakin memeluk erat boneka panda di dekapannya. Boneka itu pemberian Adit beberapa hari lalu tepat di ulang tahunnya. Adit memberikannya ketika mengantarkan Nayla pulang setelah sukses dengan kejutan karangan bunga dan alunan musik di bangku taman, hari yang hampir sempurna. Jika saja hari itu Nayla mendapat jawaban atas perasaan terpendamnya selama ini, tentu kebahagiaannya menjadi sempurna.
“Nayla sayang, sudah jam berapa ini? Ayo bersiap, kamu ingat hari ini jadwal kamu mengisi sekolah minggu di Gereja, jangan sampai terlambat atau murid-muridmu akan berlarian di pelataran ruang ibadah sambil berteriak dimana kak Nayla”
Suara wanita separuh baya di balik pintu memaksa Nayla untuk segera mengakhiri drama pagi harinya.
“Iya, Ma. Aku akan siap 30 menit lagi.”
***
Suasana gereja St. Antonius di hari minggu pagi selalu riuh ramai dengan orang-orang yang datang untuk beribadah. Nayla selalu tak lupa membawa hati yang riang dan penuh semangat setiap kali menjejakkan kaki di tempat ibadah ini. Selain untuk mengobati hatinya yang rindu akan Tuhan, Nayla memiliki aktivitas menarik di setiap minggu pagi setelah menyelesaikan ibadah. Ia dan beberapa temannya yang terbagung dalam IRGKI (Ikatan Remaja Gereja Kristen Indonesia) mendedikasikan waktu dan kreativitasnya untuk mengajar sekolah minggu bagi anak-anak yang datang ke gereja tersebut bersama orang tuanya. Nayla yang memang kuliah di jurusan pendidikan anak usia dini, tentu selalu dapat membuat anak-anak senang dengan kegiatan-kegiatan yang dirancangnya untuk murid sekolah minggu tersebut. Nayla selalu bisa menarik hati anak-anak dengan sifatnya yang riang dan ceria.
Setelah para orang tua selesai beribadah menjelang tengah hari, Nayla dan teman-temannya dari IRGKI pun menutup aktivitas sekolah minggu dengan membagikan hasil prakarya anak-anak di hari itu. Setelah anak-anak pulang bersama orang tuanya, Nayla biasanya bergegas meninggalkan gereja atau melanjutkan aktivitasnya yang lain entah itu pergi bersama teman-temannya atau pulang kerumah bersama keluarganya. Namun hari ini, Nayla merasa ingin berlama-lama berada di sana.
Nayla melangkahkan kakinya menuju ruang peribadatan, ia ingin sejenak duduk sambil menangkupkan kedua tangannya ke hadapan Tuhan seraya berdoa. Berharap segala kegundahan yang mengisi relung hatinya selama ini menemukan kedamaian.
Tak berapa lama Nayla tunduk dalam doa, air matanya tiba-tba mengalir begitu saja. Sesak hati yang dipendamnya seolah meluap begitu saja.
Lirih Nayla berdoa kepada Tuhan yang diyakininya, “Tuhan, Kasihi aku. Aku tak mampu mengeja semua takdirmu akan perasaan ini. Mengapa kau ciptakan perasaan ini, jikalau akhirnya tak tahu akan di kemanakan. Tidakkah cinta itu suci? Mengapa ada sekat yang seolah menjadi pemisah antara cinta ini. Tuhan, Aku harus berdoa kepada siapa lagi selain kepadamu?”
Nayla semakin terisak, menyebut satu nama yang sangat ia cintai. Ia percaya Tuhan mendengar lirih doa-doanya. Tuhan pun mengenal lelaki yang selalu ada dalam doa yang ia bisikkan. Nayla hanya mampu menyerahkan semua rasa yang menderanya kepada Tuhan, harapannya bahwa Adit akan mengerti dan membalas perasaan cintanya semakin tinggi setiap detiknya. Dengan perlakuan istimewa yang selalu Adit berikan padanya, Nayla bisa merasakan cinta yang sama juga tumbuh di hati Lelaki kesayangannya itu. Namun Nayla menyadari, dua rasa cinta saja tidak cukup bagi mereka yang berada di persimpangan, terpisah oleh perbedaan.
Gadis berambut sebahu itu menyudahi doanya dengan senyum penuh kedamaian, setidaknya dengan mencurahkan semua perasaannya kepada Tuhan yang ia percaya, hatinya terasa lebih damai.
Nayla melangkah menuju halaman gereja tempat mobilnya terparkir, sebelum pulang ia memutuskan untuk ke toko buku terdekat. Melihat-lihat tumpukan novel mungkin bisa sedikit menghibur akhir pekannya yang sendu.
Sebelum menghidupkan mesin xenianya, Nayla mengetikkan Quote di akun facebook miliknya. Entah kenapa ia ingin mengabadikan sebaris kata yang tiba-tiba saja melintas di fikirannya beberapa detik yang lalu selepas doa yang ia senandungkan.
***
Di tempat yang berbeda, di sebuah stasiun kereta antar kota.
Lelaki itu tergopoh berjalan menuju gerbong kereta yang tengah beristirahat setelah memberikan kesempatan pada para penumpangnya untuk shalat maghrib dan makan malam. Adit terlihat lebih segar setelah 2 jam tertidur di dalam kereta, kurang lebih 2 jam kedepan ia akan sampai di tempat tujuan. Ia menyiapkan diri untuk tidak tertidur lagi di perjalanan berikutnya, sehingga ia menyempatkan untuk mandi sebelum shalat tadi supaya tubuhnya lebih nyaman.
Kursi yang ia duduki berada tepat di sisi jendela kereta, Adit selalu suka memandang keluar jendela. Di luar sana, hari mulai terlihat gelap. Matahari telah kembali ke peraduan setelah menyelesaikan tugasnya menyinari siang yang di gunakan oleh manusia untuk mengupayakan kehidupan. Sebagai gantinya, syahdu malam datang sebagai selimut pelepas lelah untuk mempersiapkan esok hari yang lebih baik.
Adit membuka ponselnya, menyiapkan kamera untuk memotret nuansa langit yang indah dari balik jendela kereta yang di tumpanginya. Setelah mendapat satu gambar yang menurutnya bagus, ia kemudian membuka aplikasi facebooknya kemudian memposting foto langit tersebut. Selesai mengunggah foto, Adit menggerakkan jemarinya menelusuri laman beranda facebook. Saat itu gerakannya terhenti, lama ia tertegun memperhatikan layar ponselnya. Berulang ia membaca postingan status yang tanpa sengaja lewat di beranda facebooknya.
“Jika cara kita berdoa saja tak sama, maka doa itu akan memiliki muara yang berbeda.
Sementara, muara cinta itu satu.
Dan cinta datang dari Tuhan Yang Satu”.

Sejenak saja, kalimat itu mampu meluluh lantakkan hatinya. Menyisakan perih di sudut hati. Menoreh sakit di dada sebelah kiri. Tulisan itu diposting oleh nama yang tak asing lagi.
Cherlita Nayla Estella. Nama yang sangat ia kenal, terpahat di sudut hatinya yang kini tertoreh oleh tulisan yang baru saja di bacanya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah mampir di blog aku dan membaca tulisan-tulisanku......Silakan tinggalkan jejak kamu di kotak komentar di bawah ini ya..........

*Salam Blogger :-)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...