Tergeletak di atas meja belajarku, sebuah kertas berukuran
kecil yang usang dan sedikit berdebu. Rupanya, kertas itu adalah struk
pembelian minuman ringan dari salah satu kedai yang ada di Bandung, tertanggal
28 Desember 2016.
“Jangan pernah merasa kalah dalam bermimpi sebelum kau
berupaya, meski ribuan orang meragukan mimpimu. Percayalah jutaan air mata yang
kau teteskan itu, adalah mata air tempat segala lelahmu nanti berpulang”
Aku tersenyum membaca catatan pendek itu. Apa yang ada di
benakku saat menulis kata-kata itu, ya?
Ingatanku menerawang pada perjalanan panjang Bandung –
Jakarta, akhir tahun 2016 lalu. Seingatku, aku berbincang bersama ibu tentang
mimpi-mimpiku di masa depan.
“Aku ingin jadi penulis, bu.” Kataku saat itu.
“Jadi apapun kamu, yang harus kamu ingat cukup satu. Jadilah
yang jujur dan bermanfaat membawa kebaikan untuk orang-orang di sekitarmu. Cuma
itu harapan ibu sejak menyekolahkanmu saat kecil dulu.”
Aku mengangguk, percakapan itu kembali mengingatkanku pada
setiap detil nasehat yang ibu berikan padaku sejak bertahun-tahun yang lalu.
Kembali aku menerawang, kali ini ke masa silam. Masa di mana
usiaku baru 14 tahun. Selepas ujian Sekolah Menengah Pertama. Aku pulang
membawa brosur Sekolah Menengah Atas yang menjadi pilihanku melanjutkan
sekolah. Ingin rasanya segera menunjukkan pada ibu.
“Ibu, aku mau sekolah di sini. Letaknya memang jauh dari
rumah, tapi di sini ada jurusan favoritku dan aku sudah cari tahu, biayanya
tidak terlalu mahal dan bisa memberikan beasiswa asalkan aku dapat nilai
rata-rata yang tinggi.” Dengan semangat membara, aku merayu ibu.
“Ibu tak punya uang untuk biaya sekolahmu, Na. Adik-adikmu
juga masih perlu sekolah. Kalau kamu sampai di SMP saja lalu bantu ibu bekerja,
bagaimana?”
Aku mendadak gagu. Tak bisa berkata apa-apa demi mendengar
jawaban ibu. Ingin rasanya aku menjawab dengan protes bertubi-tubi tapi aku
terlanjur dikuasai rasa sedih tak menentu.
Aku melangkah lunglai menuju kamarku. Meletakkan tas dan
melepas seragam sekolah, menggantinya dengan baju sehari-hari. Saat melipat
kembali baju seragam itu, air mataku tiba-tiba saja menetes. Aku menangis,
merapatkan baju putih biru itu di pelukanku hingga basah terkena tetesan air
mata dari tangisku yang tak lagi tertahan.
Aku teringat guru-guruku, dari mereka aku mendapat inspirasi
untuk terus melanjutkan sekolah. Bahkan siang tadi, brosur Sekolah Menengah
Atas yang aku bawa pulang dan aku tunjukkan pada ibu adalah brosur yang aku
dapat dari salah satu guru di sekolahku. Beliau yakin sekali berkata, “Kamu
harus terus sekolah, Na. Supaya kamu bisa jadi orang yang pandai dan berilmu. Seperti
RA Kartini, Pahlawan perempuan idolamu. Brosur sekolah ini, semoga menjadi solusi untuk kamu memilih sekolah tujuanmu."
Aku kembali menangis mengingat semua itu. Kuletakkan seragam
sekolahku dan merapikan diri dengan menghapus air mata di pipi, kemudian kulangkahkan
kaki menghampiri ibu.
“Bu, aku ingin tetap sekolah. Aku janji, aku akan rajin
belajar. Dengan nilai rapot dan ijazahku, aku janji aku akan mempertahankan
beasiswaku saat ini dan mendapatkannya lagi di sekolah baruku nanti supaya
meringankan biaya sekolahku, bu.”
Kulihat ibu terdiam, aku tidak menyerah. Aku tahu ibu
percaya padaku, sejak di Sekolah Dasar, aku selalu dapat nilai rata-rata
tinggi. Bahkan 3 tahun belakangan di SMP, aku tidak keluar dari peringkat 2
besar di sekolah. Dalam 5 kali pembagian rapot, hanya satu kali aku di
peringkat 2 dan sisanya di peringkat 1. Aku yakin, beasiswa dari masjid dekat
rumah masih bisa aku pertahankan.
“Aku janji akan jadi anak yang membanggakan buat ibu. Aku hanya
perlu 3 tahun lagi, bu. Sampai SMA saja, setelah itu aku akan bekerja untuk
bantu ibu dan untuk biaya kuliahku, bu. Kalau aku berhenti di kelas 3 SMP,
harapanku untuk bisa kuliah akan musnah. Karena untuk kuliah, aku harus punya
ijazah SMA. Tolong, bu. Sampai SMA saja, beri aku kesempatan lagi.”
Aku tak tahan lagi untuk tidak merengek, aku yakin aku bisa
meyakinkan ibu. Meski kulihat ibu tetap diam menunduk, tapi aku tahu ibu
mendengarku.
“Bu, aku ingin membuktikan pada orang-orang yang menyudutkan
keluarga kita. Bahwa kalimat mereka tentang aku tidak akan bisa terus sekolah, aku tidak akan bisa meneruskan
ke SMA, bahwa ibu tidak akan mampu membiayaiku sampai SMA adalah salah. Aku ingin buktikan
bahwa segalanya bukan semata karena uang, tapi niat dan keinginan yang
dibersamai dengan usaha yang gigih akan bisa menjadi jalan untuk kita meraih
impian.”
Entah motivator mana yang merasukiku, aku terbata-bata
mengatakan itu. Aku teringat kalimat itu pernah diucapkan oleh seorang guru dan
pernah kubaca di salah satu buku favoritku. Kalimat motivasi yang berhasil
menanamkan semangat yang tinggi di hatiku bahwa solusi bagi ketidakmampuan
bukanlah menyerah pada keadaan, tapi berusaha untuk melawannya dengan upaya
yang gigih dan doa serta tidak berhenti menuntut ilmu agar ilmu itu yang akan
menolongmu.
“Bu, apa ibu tidak ingin membalas semua perkataan orang
tentang ibu yang katanya tidak akan mampu membiayaiku sekolahku itu dengan
keberhasilanku menyelesaikan pendidikan yang lebih baik? Apa ibu tidak percaya
bahwa aku sanggup?” Kataku setengah menahan tangis.
Ibu berhambur memelukku. “Kamu akan sekolah, Na. Ibu percaya
kamu akan jadi anak yang cerdas dan membanggakan.”
Dalam dekapannya, bisikan-bisikan itu seolah doa yang
kugenggam erat hingga kini.
Aku berdiri mematung menggenggam catatan pendek itu. Mataku basah,
mengingat masa-masa silam itu. Kulangkahkan kakiku menuju lemari di sudut
kamarku, membuka pintunya dan meraih sebungkus pakaian yang warnanya mulai
memudar. Seragam sekolah putih biru, saksi bisu perjuanganku mempertahankan
mimpiku untuk melanjutkan sekolahku.
Seandainya saat itu aku menyerah dan
mengiyakan saja keputusasaan ibu, mungkin aku tidak tahu betapa sulitnya
menyelesaikan skripsi, mengenyam pengalaman dan pendidikan sebagai mahasiswa di
kampus tercinta. Meski hingga saat ini, mimpiku belum sepenuhnya tercapai. Tapi
sejak saat itu selalu ingat satu hal yang pasti. Bahwa hal paling indah yang
dapat kau jadikan kenangan dan pelajaran dalam hidup, adalah saat kau mampu
mempertahankan mimpimu. Meski sesederhana ingin mengganti seragam putih biru
dengan seragam putih abu-abu.
Kini, berpuluh tahun sejak masa itu. Aku kembali berjuang
mengupayakan sebuah mimpi. Aku ingin jadi penulis. Menulis apa yang mampu
kutuliskan sebagai bekal untuk menghibur, menemani dan semoga bermanfaat untuk
orang lain yang membacanya. Saat ini, aku kembali selalu mengenang masa-masa
sulit saat aku berupaya mengejar mimpiku untuk menyelesaikan sekolahku. Rasa percaya
dan keyakinanku tak lagi sama dengan saat itu, karena kepercayaan diri dan
keyakinanku itu semakin bertambah besar. Bahwa mimpi itu pasti bisa aku raih,
sama seperti aku meraih mimpiku untuk memakai seragam putih abu-abu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir di blog aku dan membaca tulisan-tulisanku......Silakan tinggalkan jejak kamu di kotak komentar di bawah ini ya..........
*Salam Blogger :-)