Sabtu, 25 Februari 2017

Cintamu Tak Kumiliki, Namun Cinta-Nya Mampu Kuraih




“kau tidak seperti dulu
Yang kukenali dulu
Rupa hilang seri
Manakah manisnya
Kau tidak seperti dulu
Yang kukenali dulu
Madah tak berlagu
Manakah girangnya”

Malam ini, hujan turun satu demi satu. Tetes-tetesnya membawa senyap yang syahdu. Nada-nada dari penyanyi nasyid asal negeri Jiran, Saujana, mengalun bergema di langit-langit kamarku. Aku duduk di sisi jendela kamar sembari memperhatikan nyanyian ritmis air hujan yang turun dari langit kelam.

Aku teringat kamu, Pelangiku. Mungkin saat ini, lagu Saujana ini tepat kunyanyikan untukmu seandainya saja kau berada dekat dengaku. Aku ingin menyanyikan ini dengan suara falsku, tak apa, siapa tahu kau akan tertawa mendengarkan aku bernyanyi dengan suara yang dipaksakan, bukan?

Sejak mendengarkan kisahmu beberapa waktu yang lalu, juga kelanjutannya yang baru kau ceritakan padaku pagi tadi, rasanya aku ingin sekali berada di sana. Memelukmu erat sebagai kakak dan sahabat, yang meski mungkin tak bisa menjadi penyemangat atau penyembuh luka, setidaknya aku bisa mendengarkanmu dengan setia hingga kau lelah sehingga sesak yang kau pendam akan sedikit demi sedikit berkurang.

Luka?

Ya. Aku tahu, bagaimanapun akhirnya, kisah yang kau alami tetap menoreh luka. Cinta yang kau anggap akan menjadi pelabuhan terakhir, kandas begitu saja untuk ke sekian kalinya. Sementara, cinta itu telah menggoyahkan keteguhan hatimu yang dulu sempat bertahan untuk tidak ingin mengenal cinta sebelum tepat pada waktunya. Pertahananmu menjaga hati hanya untuk cinta yang halal bagi manusia di mata Allah, luruh begitu saja tersebab dia yang mendatangimu dengan pesona dan janji-janji untuk membawa cinta ke tempat di mana cinta mendapat pengakuan negara dan agama, pernikahan.

Apalah daya, semua kandas begitu saja. Sementara cinta sudah terlanjur tercipta.
Tidakkah cinta itu anugrah? Mengapa kehadirannya justru membawa luka? Sehingga cinta selalu dikaitkan dengan patah hati, musibah, trauma dan segala perasaan menyakitkan lainnya. Apakah itu patut disebut cinta, jika hanya mencipta raut galau berkepanjangan?

Sementara itu, seperti pada lirik lagu Saujana tadi. Kutemukan dirimu tak lagi seperti dulu. Cinta yang kau banggakan itu, telah merenggut ceriamu. Hari-harimu yang dulu penuh semangat dan berseri-seri, kini seolah hilang dan berganti dengan raut masam lagi murung. Pelangi yang dulu merona dengan warna-warninya, kini seolah tinggal kelabu. Bagaimana bisa cinta mengubahmu sedemikian rupa, bukan ke arah yang baik namun justru sebaliknya? Bukankah cinta itu indah, katanya?

****

“Langitku, aku harus move on.”

Pesan singkat itu kuterima darimu sepagi ini. Kau kisahkan kembali perjalanan hati yang  sempat menyurutkan langkahmu untuk tegar di jalan hijrah, kau kembali ingin meninggalkan cinta yang belum saatnya.

“Kamu pasti bisa, Pelangi. Terus dekati mereka yang berkontribusi dengan jalan hijrahmu, aku hanya mampu berdoa semoga hatimu dikuatkan, diluluskan dari ujian perasaan yang kini sedang menimpamu.” Balasku singkat.

Kepadamu, Allah. Pemilik segala cinta yang berisi kebaikan di dalamnya, cinta yang kau ridhoi, yang positif membawa perubahan keimanan, dekatkanlah cinta itu kepada kami. Aku tak bisa menyalahkanmu, sebagai Maha Pencipta segala yang ada di muka bumi, kau menciptakan perasaan cinta ini bukan untuk menyakiti setiap hati yang tak mampu mengelak saat ada perasaan asing hadir menghinggapi. Sejatinya, kehidupan memang memerlukan keseimbangan. Perasaan cinta yang fitrah sebagai lawan dari cinta yang jatuh bukan pada tempatnya, seringkali Kau menunjukkan kasihMu lewat kesakitan akan cinta yang salah, yang tak sesuai dengan kriteria cinta positif seperti yang kau siratkan dalam firman-Mu.

Aku ingin bertahan dalam segenap pemahaman tentang cinta yang sesungguhnya, bahwa cinta yang benar adalah yang menggerakkan hatiku untuk mendekati-Mu, bukan sebaliknya. Cinta yang benar adalah cinta yang meningkatkan kecintaanku pada-Mu, bukan justru membuatku semakin menjauhi-Mu.

Kenangan Bersama Ayah (Part 2)

“Ayah, aku dapat peringkat sepuluh.”

Aku berteriak lantang seraya berlari-lari menghampiri ayah yang sedang duduk di teras rumah siang hari itu. Sambil tersengal, aku menyodorkan buku rapot yang baru saja kuterima dari guruku di sekolah. Aku memperhatikan ayah yang mulai membuka halaman buku rapot tersebut. Rasa bangga dan bahagiaku tak bisa kusembunyikan, sementara ayah hanya menatap datar.

“Yaah, peringkat sepuluh saja kok bangga.”

Deg. Aku merasa seperti salah mendengar, tapi jelas di telingaku apa yang baru saja ayah katakan sebagai komentar dari nilai rapotku.

“Tapi kan ini sepuluh besar, yah. Dari empat puluh siswa dan aku sebelumnya tidak dapat peringkat.

“Ayah baru akan bangga jika kamu bisa dapat peringkat satu.” Sembari mengembalikan buku rapot kepadaku, ayah berujar kemudian berlalu.

Aku tertegun. Ada rasa sedih yang menjalari sendi-sendi hatiku. Aku hampir saja menangis jika ibu tidak mendatangiku dengan senyumnya yang menenangkan.


“Tidak apa-apa. Jangan sedih, Nak. Belajar lebih giat lagi, ya.” Dengan senyumnya, ibu menyemangatiku.

Episode kehidupan ini tak pernah sekalipun kulupakan. Sejak saat itu, di usia yang baru menjelang 9 tahun, dengan jiwa kelas tiga SD, aku bertekad untuk jadi yang terbaik. Belajar sekeras mungkin untuk membuktikan pada ayah bahwa aku bisa mencapai peringkat satu.

Saat itu, yang aku fikirkan hanya bagaimana aku bisa mendapat peringkat satu supaya ayah bangga dan tersenyum menatap rapotku. Aku tak pernah berfikir apa esensinya dari nilai rapot tersebut. 

Meski hingga kelas enam SD saat kelulusan, yang mampu aku raih hanya peringkat enam. “Tak apa, aku masih punya kesempatan di SMP.” Ujarku pada diri sendiri untuk menyemangati.

Sampai hingga suatu hari, saat pembagian rapot pertama di jenjang SMP aku berhasil mendapat peringkat satu. Aku menunjukkan pada ayah, kali ini ayah pasti akan memelukku bangga dan tersenyum.

Saat ayah melihat rapotku, ayah tersenyum. Tapi, ayah tidak berkata apa-apa selain, “Jangan mudah merasa puas, coba kita lihat sejauh mana kamu akan bertahan dengan peringkat itu.”

Sedih? Ya, tapi sedihnya tidak sesedih saat aku kelas tiga SD. Aku kembali tidak menyerah. Aku akan buktikan pada ayah bahwa aku bisa mempertahankan peringkat ini.

Singkat cerita, hingga dua tahun lamanya yaitu saat aku duduk di kelas tiga SMP, aku selalu menduduki peringkat satu. Ada rasa puas yang menyelinap dalam diriku, peringkat ini aku dapat dengan belajar sungguh-sungguh dan tekun. Seringkali aku mengerjakan tugas hingga malam hari, menghafal materi pelajaran sekolah yang aku dapat dari guru. Selain untuk mempertahankan peringkat, aku juga mempertahankan beasiswaku.

Sampai suatu hari, saat pembagian rapot pertama di kelas tiga, nilai rapotku turun. Peringkat dua.
Aku takut-takut ingin menunjukkan rapotku pada ayah. Aku ingat apa yang ayah katakan kemarin-kemarin tentang mempertahankan nilai rapot. Apa kata ayah nanti kalau tahu sekarang peringkatku turun? Itu saja yang ada dalam benakku.

Hingga beberapa hari kemudian, aku sedang duduk membaca buku di ruang tamu saat ayah menghampiriku.

“Jadi, siapa yang merebut peringkat satu kebanggaanmu itu, Na?” Ayah bertanya setengah tertawa.

Aku antara sebal dan berusaha untuk tegar, berusaha tersenyum.
“Tak apa, ayah. Cuma peringkat aja kok. Ilmunya kan tetap bermanfaat buat aku. Yang penting aku sudah berusaha belajar dengan tekun dan jujur dalam menjawab soal-soal ujian.” Kalimat ini asal saja keluar dari bibirku. Sebentuk pembelaan dan hiburan supaya ayah tidak menangkap rasa sedih dan kecewa di hatiku.

“Nah, gitu dong. Ini baru anak kebanggaan ayah. Ayah percaya, lambat laun kamu akan mengerti tentang teori sederhana ini. Bahwa tak selamanya, segala jerih payah kita dibuktikan dengan nilai. Apa artinya nilai tertinggi jika tidak ada pemahaman baik yang bisa kau ambil darinya.”

Sejujurnya aku sendiri tak menyangka atas apa yang aku katakan pada ayah, dan lebih tak menyangka lagi dengan perkataan ayah selanjutnya. Jadi, ayah bangga nilaiku turun? Setelah sekian lama aku belajar dengan tekun demi mendapatkan peringkat satu yang kuharap akan membuat ayah bangga, justru hal tersebut aku dapatkan saat peringkatku turun? Aku sungguh tak mengerti jika saja kemudian ayah tidak mengisahkan sebuah kisah yang akhirnya membuatku mengangguk paham tentang yang ayah katakan sebagai teori sederhana ini. Teori sederhana yang maknanya tidak sesederhana itu. Teori yang hingga saat ini kuyakini sebagai pegangan hidup di manapun aku menjalani aktivitasku sebagai manusia yang sejak lahir ditakdirkan untuk berkompetisi.

Kisahnya akan aku tuliskan di catatan bersambung Kenangan Bersama Ayah Part 3 besok hari. 

Kamis, 23 Februari 2017

Kenangan Bersama Ayah (Part 1)



Aku ingat sekali saat-saat itu. Aku baru saja menyelesaikan Ujian Nasional SMK Akuntansi. Sorak sorai menyambut kelulusan sekolah, sudah terasa. Perpisahan dengan teman-teman di sekolah beserta kenangannya terasa sudah di depan mata.

Bukan, aku bukan ingin membahas mengenai kenangan seragam sekolah lagi kali ini. Melainkan, ini tentang mimpiku setelah lulus SMK. Di tulisan sebelumnya, aku bercerita tentang bagaimana aku meyakinkan ibu untuk membolehkan aku masuk sekolah SMA setelah aku lulus dari SMP. Kali ini, aku ingin bercerita tentang bagaimana aku berjuang untuk masuk kuliah. Dan kisah ini, tentang ayah. Tentang kenangan yang aku lalui bersama ayah di suatu hari yang indah.

Pagi itu aku terbangun dengan penuh semangat. Beberapa waktu yang lalu, sekitar sebulan sebelumnya aku telah mendaftarkan diri untuk mengikuti ujian SENAMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), aku dapat kursi test ujian di SMA 1 Cikini. Karena aku belum pernah pergi ke daerah tersebut, maka pagi itu aku berangkat dari Tangerang bersama ayah menggunakan kereta api menuju Jakarta. Itu pengalaman pertamaku naik kereta api, hingga sekarang aku masih ingat betapa gugupnya saat pertama kali kulangkahkan kaki untuk naik ke gerbong kereta.

Di sepanjang perjalanan, ayah bercerita tentang kehidupannya sebelum menikah. Ayah pernah hidup serabutan di Jakarta setelah pergi merantau dari kota kelahirannya, Surabaya.

“Dulu ayah tinggal di daerah ini, Na. Tapi, sekarang daerah ini sudah bagus. Dulu masih berupa lahan-lahan kosong dan masih banyak rumah-rumah susun yang kumuh. Sekarang sudah lebih baik, meski bapak yakin beberapa tahun ke depan juga pasti akan semakin baik lagi dari sekarang.” Ayah memulai ceritanya saat kereta berhenti di stasiun Palmerah.

Aku mendengar sambil sesekali bertanya penasaran.

“Ayah di sini tinggal dengan siapa?”
“Ya, dengan siapa saja. Ayah merantau dari Surabaya ke Jakarta sendirian. Awalnya tidak mengenal satu orangpun di sini. Tapi, Allah mengirimkan orang-orang baik yang menolong Ayah sampai akhirnya Ayah punya banyak teman yang sudah seperti saudara bagi ayah.”
“Waktu itu memangnya kenapa ayah memutuskan pergi merantau? Tidak tinggal di Surabaya saja dengan kakek dan nenek.”

Kereta api yang kami tumpangi telah tiba di stasiun Tanah Abang, ayah mengajakku bersiap untuk turun. Setelah ini, kami transit untuk naik kereta jurusan Manggarai lalu kemudian mencari Kopaja jurusan Cikini untuk sampai di tempat test ujian SENAMPTN yang aku ikuti.

“Apa tujuanmu ingin kuliah kalau ayah boleh tahu, Na?”

Pertanyaan itu tiba-tiba saja diberikan padaku. Berbeda dengan menjawab pertanyaan tentang siapa pencipta lagu indonesia raya, rasanya pertanyaan ini sulit sekali aku jawab.

“Aku cuma ingin jadi orang yang bermanfaat, dan salah satu manfaat itu bisa kita dapat kalau kita tidak berhenti belajar, Pak. Aku punya mimpi, suatu hari ingin punya sekolah untuk anak-anak yang kurang beruntung. Yang untuk bersekolah saja harus susah payah mencari uang dan membujuk ayah ibunya yang banting tulang mencari rezeki yang kemudian harus dibagi-bagi. Setengahnya untuk makan dan kebutuhan lain, setengahnya untuk sekolah.”

Ayah menatapku dalam.
“Aku ingin jadi guru, Pak.” Kataku saat itu.

Cita-cita terbesarku sejak duduk di bangku sekolah SMP adalah ingin menjadi guru. Setingkat kemudian di SMA aku mulai berfikir untuk ingin menjadi Akuntan, membayangkan duduk di ruangan sebuah kantor akuntan dengan laptop dan kesibukan di tangan, sangat mebggiurkan kala itu baru di akhir-akhir masa sekolah seperti saat mengikuti test-test masuk kuliah inilah aku mulai kembali ingin menjadi seorang guru yang nantinya merangkap juga sebagai seorang penulis. Tapi, fokusku saat ini adalah aku ingin menjadi guru.

“Bagus. Ayah dukung kamu, Na. Semoga kelak mimpimu akan terwujud. Ayah akan bantu dan temani kamu semampu ayah, ya.”

Aku tersenyum dan mengangguk yakin.

“Hidup itu bukan sekedar tentang mimpi, Na. Kamu harus ingat, ada kegagalan di dalamnya, ada kenyataan pahit yang bisa saha terjadi dan harus selalu siap kau terima dengan hati yang lapang.”
Aku menoleh pada ayah, kalimat itu mengena sekali di hatiku hingga aku terdiam dalam waktu yang cukup lama.

“Bagaimana caranya supaya aku punya hati yang lapang menerima kegagalan yang mungkin saja terjadi padaku itu, ayah?”

Ayah merangkul pundakku seraya menatapku lamat-lamat.
“Ikhlas, Na. Ikhlaslah dengan apapun ketentuan yang Allah berikan. Selalulah percaya bahwa Allah punya takdir terbaik untuk setiap hambaNya tanpa pilih kasih.”

Kereta yang aku dan ayah naiki, telah tiba di stasiun Manggarai. Kami bersiap turun dan menuju pintu keluar stasiun untuk mencari kopaja yang akan mengantarkan kami ke tempat tujuan akhir yaitu SMA 1 Cikini tempat di mana aku akan berupaya mencapai mimpi.

Hari itu, adalah kenangan terbaik yang aku miliki. Kenangan yang akan selalu aku ingat sampai kapanpun bahkan hingga kini ayah telah pergi. Setiap kali aku punya mimpi, aku selalu ingat nasehat ayah tentang teori kegagalan dan ikhlas ini. Meski semuanya tak semudah dikatakan, tapi nasehat itu selalu bisa membuat hatiku berfikir lebih bijaksana dalam menghadapi apapun yang terjadi di kehidupanku. Setidaknya, seperti kata ayah, aku harus percaya bahwa tidak ada satu hal kecilpun di dunia ini yang terjadi jika bukan karena Allah yang menentukan bahwa hal tersebut adalah sebaik-baik takdir yang harus dihadapi.



Rabu, 22 Februari 2017

Linangan Air Mata Mimpi di Seragam Putih Biru



Tergeletak di atas meja belajarku, sebuah kertas berukuran kecil yang usang dan sedikit berdebu. Rupanya, kertas itu adalah struk pembelian minuman ringan dari salah satu kedai yang ada di Bandung, tertanggal 28 Desember 2016.

“Jangan pernah merasa kalah dalam bermimpi sebelum kau berupaya, meski ribuan orang meragukan mimpimu. Percayalah jutaan air mata yang kau teteskan itu, adalah mata air tempat segala lelahmu nanti berpulang”

Aku tersenyum membaca catatan pendek itu. Apa yang ada di benakku saat menulis kata-kata itu, ya?
Ingatanku menerawang pada perjalanan panjang Bandung – Jakarta, akhir tahun 2016 lalu. Seingatku, aku berbincang bersama ibu tentang mimpi-mimpiku di masa depan.

“Aku ingin jadi penulis, bu.” Kataku saat itu.
“Jadi apapun kamu, yang harus kamu ingat cukup satu. Jadilah yang jujur dan bermanfaat membawa kebaikan untuk orang-orang di sekitarmu. Cuma itu harapan ibu sejak menyekolahkanmu saat kecil dulu.”

Aku mengangguk, percakapan itu kembali mengingatkanku pada setiap detil nasehat yang ibu berikan padaku sejak bertahun-tahun yang lalu.

Kembali aku menerawang, kali ini ke masa silam. Masa di mana usiaku baru 14 tahun. Selepas ujian Sekolah Menengah Pertama. Aku pulang membawa brosur Sekolah Menengah Atas yang menjadi pilihanku melanjutkan sekolah. Ingin rasanya segera menunjukkan pada ibu.

“Ibu, aku mau sekolah di sini. Letaknya memang jauh dari rumah, tapi di sini ada jurusan favoritku dan aku sudah cari tahu, biayanya tidak terlalu mahal dan bisa memberikan beasiswa asalkan aku dapat nilai rata-rata yang tinggi.” Dengan semangat membara, aku merayu ibu.

“Ibu tak punya uang untuk biaya sekolahmu, Na. Adik-adikmu juga masih perlu sekolah. Kalau kamu sampai di SMP saja lalu bantu ibu bekerja, bagaimana?”

Aku mendadak gagu. Tak bisa berkata apa-apa demi mendengar jawaban ibu. Ingin rasanya aku menjawab dengan protes bertubi-tubi tapi aku terlanjur dikuasai rasa sedih tak menentu.

Aku melangkah lunglai menuju kamarku. Meletakkan tas dan melepas seragam sekolah, menggantinya dengan baju sehari-hari. Saat melipat kembali baju seragam itu, air mataku tiba-tiba saja menetes. Aku menangis, merapatkan baju putih biru itu di pelukanku hingga basah terkena tetesan air mata dari tangisku yang tak lagi tertahan.

Aku teringat guru-guruku, dari mereka aku mendapat inspirasi untuk terus melanjutkan sekolah. Bahkan siang tadi, brosur Sekolah Menengah Atas yang aku bawa pulang dan aku tunjukkan pada ibu adalah brosur yang aku dapat dari salah satu guru di sekolahku. Beliau yakin sekali berkata, “Kamu harus terus sekolah, Na. Supaya kamu bisa jadi orang yang pandai dan berilmu. Seperti RA Kartini, Pahlawan perempuan idolamu. Brosur sekolah ini, semoga menjadi solusi untuk kamu memilih sekolah tujuanmu."

Aku kembali menangis mengingat semua itu. Kuletakkan seragam sekolahku dan merapikan diri dengan menghapus air mata di pipi, kemudian kulangkahkan kaki menghampiri ibu.

“Bu, aku ingin tetap sekolah. Aku janji, aku akan rajin belajar. Dengan nilai rapot dan ijazahku, aku janji aku akan mempertahankan beasiswaku saat ini dan mendapatkannya lagi di sekolah baruku nanti supaya meringankan biaya sekolahku, bu.”

Kulihat ibu terdiam, aku tidak menyerah. Aku tahu ibu percaya padaku, sejak di Sekolah Dasar, aku selalu dapat nilai rata-rata tinggi. Bahkan 3 tahun belakangan di SMP, aku tidak keluar dari peringkat 2 besar di sekolah. Dalam 5 kali pembagian rapot, hanya satu kali aku di peringkat 2 dan sisanya di peringkat 1. Aku yakin, beasiswa dari masjid dekat rumah masih bisa aku pertahankan.

“Aku janji akan jadi anak yang membanggakan buat ibu. Aku hanya perlu 3 tahun lagi, bu. Sampai SMA saja, setelah itu aku akan bekerja untuk bantu ibu dan untuk biaya kuliahku, bu. Kalau aku berhenti di kelas 3 SMP, harapanku untuk bisa kuliah akan musnah. Karena untuk kuliah, aku harus punya ijazah SMA. Tolong, bu. Sampai SMA saja, beri aku kesempatan lagi.”

Aku tak tahan lagi untuk tidak merengek, aku yakin aku bisa meyakinkan ibu. Meski kulihat ibu tetap diam menunduk, tapi aku tahu ibu mendengarku.

“Bu, aku ingin membuktikan pada orang-orang yang menyudutkan keluarga kita. Bahwa kalimat mereka tentang aku tidak akan bisa terus sekolah, aku tidak akan bisa meneruskan ke SMA, bahwa ibu tidak akan mampu membiayaiku sampai SMA adalah salah. Aku ingin buktikan bahwa segalanya bukan semata karena uang, tapi niat dan keinginan yang dibersamai dengan usaha yang gigih akan bisa menjadi jalan untuk kita meraih impian.”

Entah motivator mana yang merasukiku, aku terbata-bata mengatakan itu. Aku teringat kalimat itu pernah diucapkan oleh seorang guru dan pernah kubaca di salah satu buku favoritku. Kalimat motivasi yang berhasil menanamkan semangat yang tinggi di hatiku bahwa solusi bagi ketidakmampuan bukanlah menyerah pada keadaan, tapi berusaha untuk melawannya dengan upaya yang gigih dan doa serta tidak berhenti menuntut ilmu agar ilmu itu yang akan menolongmu.

“Bu, apa ibu tidak ingin membalas semua perkataan orang tentang ibu yang katanya tidak akan mampu membiayaiku sekolahku itu dengan keberhasilanku menyelesaikan pendidikan yang lebih baik? Apa ibu tidak percaya bahwa aku sanggup?” Kataku setengah menahan tangis.

Ibu berhambur memelukku. “Kamu akan sekolah, Na. Ibu percaya kamu akan jadi anak yang cerdas dan membanggakan.”

Dalam dekapannya, bisikan-bisikan itu seolah doa yang kugenggam erat hingga kini.

Aku berdiri mematung menggenggam catatan pendek itu. Mataku basah, mengingat masa-masa silam itu. Kulangkahkan kakiku menuju lemari di sudut kamarku, membuka pintunya dan meraih sebungkus pakaian yang warnanya mulai memudar. Seragam sekolah putih biru, saksi bisu perjuanganku mempertahankan mimpiku untuk melanjutkan sekolahku.

Seandainya saat itu aku menyerah dan mengiyakan saja keputusasaan ibu, mungkin aku tidak tahu betapa sulitnya menyelesaikan skripsi, mengenyam pengalaman dan pendidikan sebagai mahasiswa di kampus tercinta. Meski hingga saat ini, mimpiku belum sepenuhnya tercapai. Tapi sejak saat itu selalu ingat satu hal yang pasti. Bahwa hal paling indah yang dapat kau jadikan kenangan dan pelajaran dalam hidup, adalah saat kau mampu mempertahankan mimpimu. Meski sesederhana ingin mengganti seragam putih biru dengan seragam putih abu-abu.


Kini, berpuluh tahun sejak masa itu. Aku kembali berjuang mengupayakan sebuah mimpi. Aku ingin jadi penulis. Menulis apa yang mampu kutuliskan sebagai bekal untuk menghibur, menemani dan semoga bermanfaat untuk orang lain yang membacanya. Saat ini, aku kembali selalu mengenang masa-masa sulit saat aku berupaya mengejar mimpiku untuk menyelesaikan sekolahku. Rasa percaya dan keyakinanku tak lagi sama dengan saat itu, karena kepercayaan diri dan keyakinanku itu semakin bertambah besar. Bahwa mimpi itu pasti bisa aku raih, sama seperti aku meraih mimpiku untuk memakai seragam putih abu-abu.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...