Minggu, 16 April 2017

Kasih Putih Satira - Bagian 4

”Satira, Elang kayaknya mau kesini tuh.” Caca tiba-tiba saja heboh, hampir saja gelas yang sedang dipegang oleh Satira terjatuh karena gerakan tangan Caca yang sedikit menyenggol lengan Satira. Baru saja Satira ingin protes, sosok Elang sudah ada di hadapannya.
“Saya minta maaf soal tadi pagi, ya.”
Satira berusaha bersikap teduh, seolah tak terjadi apa-apa.
“Oh, iya. Ngga ada yang harus dimaafin, kok” Jawabnya acuh.
Elang tersenyum kemudian mengulurkan tangannya di hadapan Satira.
“Elang. Temannya Seno, yang tadi pagi ngga sengaja dengerin kamu nyanyi di telepon.”
Satira dapat merasakan pipinya memerah, entah raut wajahnya seperti apa saat itu. Dia kehabisan ide menjawab kalimat sapaan yang sedikit menyindir itu.
“Ehm, apa ya maksudnya? Kayaknya kamu salah orang, deh.” Satira kikuk, meraih tangan Elang dan meletakkan gelas yang digenggamnya ke tangan Elang kemudian berlalu. Sementara itu, Caca tak tahu sama sekali apa maksud keduanya. Memilih untuk tersenyum kemudian pergi menyusul Satira ke dalam rumah.
Tinggallah Elang berdiri tanpa ekspresi, memandangi gelas kosong yang kini ada di genggaman tangannya.

***

Mengingat masa awal perkenalannya dengan Elang, membuatnya Satira senyum-senyum sendiri. Sejenak kemudian ada sesak yang kembali muncul. Tak bisa dipungkiri, meski sudah 7 tahun berlalu namun seolah baru kemarin ia mengenal sosok Elang, perkenalan yang berujung tumbuhnya perasaan-perasaan yang membuat keduanya menjadi dekat. Beberapa hari setelah pernikahan Mas Seno dan Mbak Ita, Satira kembali ke Jakarta. Di hari sebelum ia berangkat ke Jakarta itulah akhirnya ia berkenalan sungguhan dengan Elang. Elang yang ramah dan memiliki sikap bersahabat, tak hentinya menyapa Satira di setiap ada kesempatan hingga akhirnya Satira pun tidak lagi punya alasan untuk bersikap acuh. Perkenalannya yang diawali dengan kekonyolan keduanya itu menjadi awal dari obrolan-obrolan singkat yang kini terjalin lewat pesan singkat di kotak pesan handphonenya masing-masing sejak keduanya sudah kembali ke rutinitasnya di Jakarta. Tiada hari tanpa ucapan selamat pagi dan seperti alarm, Elang rutin mengiriminya pesan-pesan mengingatkan makan siang atau jaga kesehatan.
Kini saat 7 tahun sudah berlalu, masa-masa itu masih jelas di ingatan Satira. Terlebih jika kenangan itu terus menerus memunculkan masa-masa selanjutnya saat pertemuan-pertemuan yang sengaja mereka atur di sela-sela rutinitas, yang pada akhirnya memunculkan kedekatan bagi mereka. Tak disangka kedekatan itu kemudian menumbuhkan perasaan yang semakin hari semakin subur hingga akhirnya entah siapa yang mengawalinya, sepasang manusia itu seolah mengerti bahwa kedekatan mereka istimewa. Pertemuan demi pertemuan, menjadikan mereka semakin dekat selayaknya sepasang kekasih. Satira menyayangi Elang dengan segenap jiwanya sejak saat itu, hingga kini setelah 7 tahun semuanya berlalu. Meski hubungan mereka pada akhirnya kandas di tahun ketiga setelah kedekatan mereka, namun sosok Elang masih sebagai sosok yang sangat berarti bagi Satira. Hanya saja, ia memendamnya erat seolah segalanya kini baik-baik saja, meski ada kerinduan mendalam yang ia rasakan sendiri saat ingatan tentang Elang datang menghantuinya.
Seperti malam ini, Satira duduk di sisi jendela kamarnya. Sudah dua hari ia di sini, berlibur dan menjenguk Uwak Sari. 7 tahun lalu, di rumah ini ia mengenal Elang. Sepuluh rumah ke sebelah barat dari rumah Uwak Sari, adalah rumah Elang. Tapi, sejak hari pertama ia tiba di sini, tak pernah sekalipun ia melihat sosok itu.
Berbagai pertanyaan tentang dimana Elang? Bagaimana kabarnya? Sibuk apa ia saat ini? Serta berbagai pertanyaan lainnya yang selama ini hanya bisa ia pendam sendiri. Awalnya ia masih bisa bersikap tenang dan tidak terlalu memikirkan, namun berita yang ia dengar dari Uwak Sari pagi tadi sepulang dari pasar, membuat Satira kalang kabut sendiri. Benarkah Elang akan menikah?
Memikirkan itu, tiba-tiba kesedihan datang menghampiri Satira. Bagaimana jika benar, Elang akan menikah? Apakah penantiannya akan menjadi sia-sia? Kemana ia akan membawa perasaannya? Bukankah ia selama ini berkeyakinan bahwa Elang akan kembali? Ah, naif sekali. Satira membenak sendiri. Bukankah dengan jelas ia kemarin meyakinkan Caca bahwa ia baik-baik saja setelah hubungannya dengan Elang kandas? Apakah itu hanya kebohongan-kebohongan yang seolah dibuat hanya untuk berpura-pura tegar? Sementara kini, saat ada kemungkinan lain yang terjadi, kemungkinan bahwa Elang sudah punya kehidupan baru menuju pernikahan, ia hanya bisa sedih sendiri meratapi perasaannya yang tak bisa dibendung lagi.
Satira berjalan menuju tempat tidur, rasanya penat bergelut dengan diri sendiri sepanjang hari ini. Ia ingin terlelap, berharap esok segala perasaan yang membuatnya gusar ini akan sirna. Baru saja Satira berniat memejamkan mata, handphonenya berbunyi. Dengan masih berbaring malas, ia meraih handphone yang ia letakkan di atas meja di sisi tempat tidurnya kemudian membuka pesan singkat yang masuk, dari nomor tak dikenal.
Satira menatap lamat bunyi pesan singkat tersebut, tak percaya.

“Ra, aku mau ketemu kamu. Besok siang, di tempat favorit kita
Aku harap kamu datang.
Elang.”

Satira bangkit dari tempat tidurnya, berkali-kali kembali membaca pesan singkat itu. Benarkah ini Elang? Satira menekan beberapa kali tombol handphonenya kemudian menempelkan benda tersebut ke telinga. Sedetik kemudian, terdengar nada-nada lagu yang tak asing di telinganya.
“...Aku slalu bernyanyi
Lagu yang engkau ciptakan
Kau nyanyikan...”
Lagu itu, lagu yang selama ini menemaninya ketika ia merindukan sosok yang sangat dicintainya bertahun lamanya. Satira semakin penasaran apakah benar Elang yang mengirimkan sms ini.
“Ra, ini aku. Elang”.
Suara nada sambung di seberang sana kini berganti dengan suara yang sangat dikenalinya. Suara yang sangat di rindukannya.
Satira terduduk, seraya mematikan kembali sambungan telepon tersebut.

Terlalu lama rindu ini terpenjara, terlalu lama ia berharap dapat mendengar lagi suara yang sangat menjadi suara kesukaannya itu. Lelaki yang sangat ia tunggu bertahun lamanya. Kini saat suara itu kembali menyapa pendengarannya, Satira hanya mampu terduduk lesu. Tak bergeming sedikitpun.

*bersambung 
#30DWCJilid5
#Day6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah mampir di blog aku dan membaca tulisan-tulisanku......Silakan tinggalkan jejak kamu di kotak komentar di bawah ini ya..........

*Salam Blogger :-)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...