Sabtu, 15 April 2017

Kasih Putih Satira - Bagian 3

”Berpasangan kalian telah diciptakan
Dan selamanya kalian akan berpasangan
Bersamalah kalian tatkala Sang Maut merenggut hidup.
Ya, bahkan bersama pula kalian, dalam ingatan sunyi Tuhan.
Namun biarkan ada ruang di antara kebersamaan itu.
Tempat angin surga menari-nari di antara kalian.”

Puisi Kahlil Gibran itu menari-nari di ingatan Satira saat ini. Di hadapannnya, terpampang pemandangan syahdu kisah sepasang kekasih yang dipersatukan oleh Allah. Mbak Ita dalam balutan gaun pengantin putih, anggun dan manis dengan raut bahagia yang tak bisa ditutupinya.
Di sebelahnya, duduk Mas Seno, sang pengantin pria dengan balutan jas warna senada membuat keduanya nampak serasi bak raja dan permaisuri.
Dalam rinai syahdu gerimis kecil di pagi yang telah Allah tetapkan sebagai awal hidup baru bagi sepasang kekasih, penghulu merapal nasehat-nasehat bagi dua jiwa yang akan menjadi pasangan suami istri. Suasana syahdu bercampur haru dan bahagia, berlomba dengan rasa gugup saat Mas Seno mengulurkan tangan untuk berjabat erat dengan ayah dari Mbak Ita, wanita yang akan dinikahinya.
Di benak Satira, semua kepingan cerita yang pernah didengarnya dari Mas Seno seolah berlarian. Ia teringat, betapa bukan hal yang mudah bagi sepupunya itu dalam memilih pasangan hidupnya. Betapa memerlukan waktu bertahun lamanya untuk bangkit dari luka atas pengkhianatan yang pernah dirasakannya dari mantan kekasihnya dulu sebelum ia bertemu dengan sosok Mbak Ita. Perempuan penyabar berhati lembut yang mampu meluluhkan hatinya setelah perjodohan yang berhasil dibangun oleh kedua orang tua mereka.
Satira meyakini, betapa ikatan jodoh itu sudahlah pasti. Takkan terhalangi jika Allah sudah membuat garis yang menghubungkan keduanya. Sesulit apapun Mas Seno berupaya menolak dan mengindari perjodohan tersebut, pada akhirnya mereka bersatu juga di pelaminan. Mbak Ita yang lembut dan penuh perhatian, berhasil menyentuh hati Mas Seno melalui kedekatan emosional yang Mbak Ita berikan bukan hanya pada Mas Seno, melainkan juga pada seluruh anggota keluarga Mas Seno, sehingga tak ada alasan lain untuknya menolak. Seluruh keluarga mengharapkan Mbak Ita menjadi menantu, atas dasar kepercayaan dan nuansa kasih sayang yang ditunjukkan tulus oleh Mbak Ita selama 3 tahun masa perjodohan ini. Luka yang dulu terpendam di hati Mas Seno, perlahan terobati dan berangsur, cinta yang diharapkan akhirnya tumbuh begitu saja untuk Mbak Ita.
“Saya terima nikahnya Ita Setyawati binti Ahmad Syarief dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan emas 100 gram dibayar tunai.” Lantang, Mas Seno mengucapkan ikrar untuk mendapatkan kekasihnya secara sah.
“Bagaimana, Saksi? Sah?”
Para saksi, semua orang yang menyaksikan serta desau angin dan rintik hujan dari langit seolah serempak mengangguk dan berseru “Sah”.
Ada ribuan rapal doa yang mengalun dari kedalaman hati-hati yang bersaksi hari itu. Ada dua jiwa yang larut dalam tunduk khusyunya doa yang menggema di kedalaman jiwa, mengalir melalui sendi-sendi haru yang berwujud air mata  bahagia di kedua pasang pelupuk mata insan yang sedang khidmat merapal janji setia.
Satira tersenyum, seolah bahagia itu juga miliknya. Ia teringat, kisah-kisah remaja di sekitarnya. Mengucap setia di hubungan yang entah apa namanya, memanggil ayah bunda, mengucap cinta dan sayang semudah kata menjelma. Esoknya putus, saling melempar benci dan saling memaki. Sementara lihatlah dua sosok dihadapannya yang baru saja resmi menyatu dalam hubungan yang diakui oleh negara dan agama. Mereka tersipu malu mengulur tangan untuk bersalaman, namun kebahagiaan dan cinta kasih dari hati keduanya terpancar jelas, nyata.
“Satira, Nduk. Mari sini bantu Uwak siapkan prasmanan untuk tamu-tamu. Dari pada bengong di sini, baper nanti lama-lama lihatin pengantin” Uwak Sari, muncul membuyarkan lamunan Satira. Satira mengangguk dan tersenyum malu, kemudian melangkah mengikuti Uwak ke dapur.
Setelah selesai akad nikah, kedua mempelai menuju ke pelaminan untuk menunggu para tamu dan rekan-rekan undangan datang seperti adat pernikahan pada umumnya. Satira bertugas menjaga meja prasmanan, menjamu para tamu yang datang.
“Satira, kamu dilihatin terus dari tadi tuh sama Elang.”
Satira dan Caca sedang duduk di salah satu kursi tamu, sambil memperhatikan kedua pengantin berfoto di pelaminan ketika Caca membicarakan sosok lelaki itu. Lelaki yang sejak akad nikah baru dimulai tadi sudah berada di tengah-tengah tamu, berbaur bersama keluarga dan rekan-rekan dari Mas Seno dan Mbak Ita.
“Elang? Elang siapa sih?” Satira pura-pura tidak tahu apa yang dibicarakan oleh Caca.
Caca memang baru saja tiba dari kampus siang ini, ia tidak ikut menghadiri akad nikah sejak pagi karena sedang ada ujian semester. Sehingga tidak tahu tentang insiden telepon yang terjadi tadi pagi dan insiden saat Elang dan Satira membuah seisi rumah panik.

Ya, pagi itu saat semua orang sibuk mempersiapkan segala hal untuk akad nikah Mbak Ita dan Mas Seno, tiba-tiba saja terdengar teriakan keras berasal dari dalam kamar yang dihuni oleh Satira. Kejadiannya bermula saat Satira sedang beristirahat sejenak setelah selesai shalat dhuha, akad nikah akan berlangsung setengah jam lagi. Semua persiapan sudah dilakukan, tinggal menunggu penghulu dan para tamu berkumpul. Satira ingin merebahkan dirinya sejenak sebelum menyaksikan akad nikah, ia menutupi dirinya dengan selimut karena silau matahari dari luar jendela. Saat itulah, tiba-tiba saja ada sosok asing masuk ke dalam kamarnya tanpa permisi dan kemudian langsung menutup pintu kamar. Awalnya Satira berfikir itu Uwak atau sepupunya yang lain, Satira terkejut saat menyadari sosok itu adalah laki-laki. Seingatnya, dia tak memiliki sepupu laki-laki lain selain Mas Seno. Sementara, Mas Seno tak mungkin masuk ke dalam kamar ini, ia sedang menunggu penghulu sambil berkumpul dengan teman-temannya. Menyadari itu, Satira panik. Terlebih saat dari remang-remang kain selimut yang dikenakannya untuk menutupi diri, Satira melihat sosok lelaki itu mendekatinya. Sementara, sosok yang mendekatinya juga tak mengetahui bahwa ada yang sedang bersembunyi di balik selimut. Perlahan Satira membuka selimut yang membungkus dirinya, di dalam remang ruangan tersebut dua pasang mata bertemu dengan raut muka panik. Keduanya sontak berteriak membuat heboh sejenak sebelum akad nikah diselenggarakan pagi itu.

*bersambung
#30DWCJilid5 #Day4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah mampir di blog aku dan membaca tulisan-tulisanku......Silakan tinggalkan jejak kamu di kotak komentar di bawah ini ya..........

*Salam Blogger :-)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...