”Berpasangan kalian telah diciptakan
Dan selamanya kalian akan berpasangan
Bersamalah kalian tatkala Sang Maut merenggut
hidup.
Ya, bahkan bersama pula kalian, dalam ingatan
sunyi Tuhan.
Namun biarkan ada ruang di antara kebersamaan
itu.
Tempat angin surga menari-nari di antara
kalian.”
Puisi Kahlil Gibran itu menari-nari
di ingatan Satira saat ini. Di hadapannnya, terpampang pemandangan syahdu kisah
sepasang kekasih yang dipersatukan oleh Allah. Mbak Ita dalam balutan gaun
pengantin putih, anggun dan manis dengan raut bahagia yang tak bisa
ditutupinya.
Di sebelahnya, duduk Mas Seno, sang
pengantin pria dengan balutan jas warna senada membuat keduanya nampak serasi
bak raja dan permaisuri.
Dalam rinai syahdu gerimis kecil di
pagi yang telah Allah tetapkan sebagai awal hidup baru bagi sepasang kekasih,
penghulu merapal nasehat-nasehat bagi dua jiwa yang akan menjadi pasangan suami
istri. Suasana syahdu bercampur haru dan bahagia, berlomba dengan rasa gugup
saat Mas Seno mengulurkan tangan untuk berjabat erat dengan ayah dari Mbak Ita,
wanita yang akan dinikahinya.
Di benak Satira, semua kepingan
cerita yang pernah didengarnya dari Mas Seno seolah berlarian. Ia teringat,
betapa bukan hal yang mudah bagi sepupunya itu dalam memilih pasangan hidupnya.
Betapa memerlukan waktu bertahun lamanya untuk bangkit dari luka atas
pengkhianatan yang pernah dirasakannya dari mantan kekasihnya dulu sebelum ia
bertemu dengan sosok Mbak Ita. Perempuan penyabar berhati lembut yang mampu
meluluhkan hatinya setelah perjodohan yang berhasil dibangun oleh kedua orang
tua mereka.
Satira meyakini, betapa ikatan jodoh
itu sudahlah pasti. Takkan terhalangi jika Allah sudah membuat garis yang
menghubungkan keduanya. Sesulit apapun Mas Seno berupaya menolak dan mengindari
perjodohan tersebut, pada akhirnya mereka bersatu juga di pelaminan. Mbak Ita
yang lembut dan penuh perhatian, berhasil menyentuh hati Mas Seno melalui
kedekatan emosional yang Mbak Ita berikan bukan hanya pada Mas Seno, melainkan
juga pada seluruh anggota keluarga Mas Seno, sehingga tak ada alasan lain untuknya
menolak. Seluruh keluarga mengharapkan Mbak Ita menjadi menantu, atas dasar
kepercayaan dan nuansa kasih sayang yang ditunjukkan tulus oleh Mbak Ita selama
3 tahun masa perjodohan ini. Luka yang dulu terpendam di hati Mas Seno,
perlahan terobati dan berangsur, cinta yang diharapkan akhirnya tumbuh begitu
saja untuk Mbak Ita.
“Saya terima nikahnya Ita Setyawati
binti Ahmad Syarief dengan mas kawin seperangkat alat shalat dan emas 100 gram
dibayar tunai.” Lantang, Mas Seno mengucapkan ikrar untuk mendapatkan
kekasihnya secara sah.
“Bagaimana, Saksi? Sah?”
Para saksi, semua orang yang
menyaksikan serta desau angin dan rintik hujan dari langit seolah serempak
mengangguk dan berseru “Sah”.
Ada ribuan rapal doa yang mengalun
dari kedalaman hati-hati yang bersaksi hari itu. Ada dua jiwa yang larut dalam
tunduk khusyunya doa yang menggema di kedalaman jiwa, mengalir melalui
sendi-sendi haru yang berwujud air mata bahagia
di kedua pasang pelupuk mata insan yang sedang khidmat merapal janji setia.
Satira tersenyum, seolah bahagia itu
juga miliknya. Ia teringat, kisah-kisah remaja di sekitarnya. Mengucap setia di
hubungan yang entah apa namanya, memanggil ayah bunda, mengucap cinta dan
sayang semudah kata menjelma. Esoknya putus, saling melempar benci dan saling
memaki. Sementara lihatlah dua sosok dihadapannya yang baru saja resmi menyatu
dalam hubungan yang diakui oleh negara dan agama. Mereka tersipu malu mengulur
tangan untuk bersalaman, namun kebahagiaan dan cinta kasih dari hati keduanya
terpancar jelas, nyata.
“Satira, Nduk. Mari sini bantu Uwak
siapkan prasmanan untuk tamu-tamu. Dari pada bengong di sini, baper nanti
lama-lama lihatin pengantin” Uwak Sari, muncul membuyarkan lamunan Satira.
Satira mengangguk dan tersenyum malu, kemudian melangkah mengikuti Uwak ke
dapur.
Setelah selesai akad nikah, kedua
mempelai menuju ke pelaminan untuk menunggu para tamu dan rekan-rekan undangan
datang seperti adat pernikahan pada umumnya. Satira bertugas menjaga meja
prasmanan, menjamu para tamu yang datang.
“Satira, kamu dilihatin terus dari
tadi tuh sama Elang.”
Satira dan Caca sedang duduk di
salah satu kursi tamu, sambil memperhatikan kedua pengantin berfoto di
pelaminan ketika Caca membicarakan sosok lelaki itu. Lelaki yang sejak akad
nikah baru dimulai tadi sudah berada di tengah-tengah tamu, berbaur bersama
keluarga dan rekan-rekan dari Mas Seno dan Mbak Ita.
“Elang? Elang siapa sih?” Satira
pura-pura tidak tahu apa yang dibicarakan oleh Caca.
Caca memang baru saja tiba dari
kampus siang ini, ia tidak ikut menghadiri akad nikah sejak pagi karena sedang
ada ujian semester. Sehingga tidak tahu tentang insiden telepon yang terjadi
tadi pagi dan insiden saat Elang dan Satira membuah seisi rumah panik.
Ya, pagi itu saat semua orang sibuk
mempersiapkan segala hal untuk akad nikah Mbak Ita dan Mas Seno, tiba-tiba saja
terdengar teriakan keras berasal dari dalam kamar yang dihuni oleh Satira.
Kejadiannya bermula saat Satira sedang beristirahat sejenak setelah selesai
shalat dhuha, akad nikah akan berlangsung setengah jam lagi. Semua persiapan
sudah dilakukan, tinggal menunggu penghulu dan para tamu berkumpul. Satira
ingin merebahkan dirinya sejenak sebelum menyaksikan akad nikah, ia menutupi
dirinya dengan selimut karena silau matahari dari luar jendela. Saat itulah, tiba-tiba
saja ada sosok asing masuk ke dalam kamarnya tanpa permisi dan kemudian
langsung menutup pintu kamar. Awalnya Satira berfikir itu Uwak atau sepupunya
yang lain, Satira terkejut saat menyadari sosok itu adalah laki-laki.
Seingatnya, dia tak memiliki sepupu laki-laki lain selain Mas Seno. Sementara,
Mas Seno tak mungkin masuk ke dalam kamar ini, ia sedang menunggu penghulu
sambil berkumpul dengan teman-temannya. Menyadari itu, Satira panik. Terlebih
saat dari remang-remang kain selimut yang dikenakannya untuk menutupi diri,
Satira melihat sosok lelaki itu mendekatinya. Sementara, sosok yang mendekatinya
juga tak mengetahui bahwa ada yang sedang bersembunyi di balik selimut.
Perlahan Satira membuka selimut yang membungkus dirinya, di dalam remang
ruangan tersebut dua pasang mata bertemu dengan raut muka panik. Keduanya
sontak berteriak membuat heboh sejenak sebelum akad nikah diselenggarakan pagi
itu.
*bersambung
#30DWCJilid5 #Day4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir di blog aku dan membaca tulisan-tulisanku......Silakan tinggalkan jejak kamu di kotak komentar di bawah ini ya..........
*Salam Blogger :-)