Aku ingat sekali saat-saat itu. Aku baru saja menyelesaikan
Ujian Nasional SMK Akuntansi. Sorak sorai menyambut kelulusan sekolah, sudah
terasa. Perpisahan dengan teman-teman di sekolah beserta kenangannya terasa
sudah di depan mata.
Bukan, aku bukan ingin membahas mengenai kenangan seragam
sekolah lagi kali ini. Melainkan, ini tentang mimpiku setelah lulus SMK. Di tulisan
sebelumnya, aku bercerita tentang bagaimana aku meyakinkan ibu untuk membolehkan
aku masuk sekolah SMA setelah aku lulus dari SMP. Kali ini, aku ingin bercerita
tentang bagaimana aku berjuang untuk masuk kuliah. Dan kisah ini, tentang ayah.
Tentang kenangan yang aku lalui bersama ayah di suatu hari yang indah.
Pagi itu aku terbangun dengan penuh semangat. Beberapa waktu
yang lalu, sekitar sebulan sebelumnya aku telah mendaftarkan diri untuk
mengikuti ujian SENAMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), aku
dapat kursi test ujian di SMA 1 Cikini. Karena aku belum pernah pergi ke daerah
tersebut, maka pagi itu aku berangkat dari Tangerang bersama ayah menggunakan
kereta api menuju Jakarta. Itu pengalaman pertamaku naik kereta api, hingga
sekarang aku masih ingat betapa gugupnya saat pertama kali kulangkahkan kaki
untuk naik ke gerbong kereta.
Di sepanjang perjalanan, ayah bercerita tentang kehidupannya
sebelum menikah. Ayah pernah hidup serabutan di Jakarta setelah pergi merantau
dari kota kelahirannya, Surabaya.
“Dulu ayah tinggal di daerah ini, Na. Tapi, sekarang daerah
ini sudah bagus. Dulu masih berupa lahan-lahan kosong dan masih banyak
rumah-rumah susun yang kumuh. Sekarang sudah lebih baik, meski bapak yakin
beberapa tahun ke depan juga pasti akan semakin baik lagi dari sekarang.” Ayah
memulai ceritanya saat kereta berhenti di stasiun Palmerah.
Aku mendengar sambil sesekali bertanya penasaran.
“Ayah di sini tinggal dengan siapa?”
“Ya, dengan siapa saja. Ayah merantau dari Surabaya ke
Jakarta sendirian. Awalnya tidak mengenal satu orangpun di sini. Tapi, Allah
mengirimkan orang-orang baik yang menolong Ayah sampai akhirnya Ayah punya
banyak teman yang sudah seperti saudara bagi ayah.”
“Waktu itu memangnya kenapa ayah memutuskan pergi merantau? Tidak
tinggal di Surabaya saja dengan kakek dan nenek.”
Kereta api yang kami tumpangi telah tiba di stasiun Tanah
Abang, ayah mengajakku bersiap untuk turun. Setelah ini, kami transit untuk
naik kereta jurusan Manggarai lalu kemudian mencari Kopaja jurusan Cikini untuk
sampai di tempat test ujian SENAMPTN yang aku ikuti.
“Apa tujuanmu ingin kuliah kalau ayah boleh tahu, Na?”
Pertanyaan itu tiba-tiba saja diberikan padaku. Berbeda dengan
menjawab pertanyaan tentang siapa pencipta lagu indonesia raya, rasanya
pertanyaan ini sulit sekali aku jawab.
“Aku cuma ingin jadi orang yang bermanfaat, dan salah satu
manfaat itu bisa kita dapat kalau kita tidak berhenti belajar, Pak. Aku punya
mimpi, suatu hari ingin punya sekolah untuk anak-anak yang kurang beruntung. Yang
untuk bersekolah saja harus susah payah mencari uang dan membujuk ayah ibunya
yang banting tulang mencari rezeki yang kemudian harus dibagi-bagi. Setengahnya
untuk makan dan kebutuhan lain, setengahnya untuk sekolah.”
Ayah menatapku dalam.
“Aku ingin jadi guru, Pak.” Kataku saat itu.
Cita-cita terbesarku sejak duduk di bangku sekolah SMP
adalah ingin menjadi guru. Setingkat kemudian di SMA aku mulai berfikir untuk
ingin menjadi Akuntan, membayangkan duduk di ruangan sebuah kantor akuntan
dengan laptop dan kesibukan di tangan, sangat mebggiurkan kala itu baru di
akhir-akhir masa sekolah seperti saat mengikuti test-test masuk kuliah inilah
aku mulai kembali ingin menjadi seorang guru yang nantinya merangkap juga
sebagai seorang penulis. Tapi, fokusku saat ini adalah aku ingin menjadi guru.
“Bagus. Ayah dukung kamu, Na. Semoga kelak mimpimu akan
terwujud. Ayah akan bantu dan temani kamu semampu ayah, ya.”
Aku tersenyum dan mengangguk yakin.
“Hidup itu bukan sekedar tentang mimpi, Na. Kamu harus
ingat, ada kegagalan di dalamnya, ada kenyataan pahit yang bisa saha terjadi
dan harus selalu siap kau terima dengan hati yang lapang.”
Aku menoleh pada ayah, kalimat itu mengena sekali di hatiku
hingga aku terdiam dalam waktu yang cukup lama.
“Bagaimana caranya supaya aku punya hati yang lapang
menerima kegagalan yang mungkin saja terjadi padaku itu, ayah?”
Ayah merangkul pundakku seraya menatapku lamat-lamat.
“Ikhlas, Na. Ikhlaslah dengan apapun ketentuan yang Allah
berikan. Selalulah percaya bahwa Allah punya takdir terbaik untuk setiap
hambaNya tanpa pilih kasih.”
Kereta yang aku dan ayah naiki, telah tiba di stasiun
Manggarai. Kami bersiap turun dan menuju pintu keluar stasiun untuk mencari
kopaja yang akan mengantarkan kami ke tempat tujuan akhir yaitu SMA 1 Cikini
tempat di mana aku akan berupaya mencapai mimpi.
Hari itu, adalah kenangan terbaik yang aku miliki. Kenangan yang
akan selalu aku ingat sampai kapanpun bahkan hingga kini ayah telah pergi. Setiap
kali aku punya mimpi, aku selalu ingat nasehat ayah tentang teori kegagalan dan
ikhlas ini. Meski semuanya tak semudah dikatakan, tapi nasehat itu selalu bisa
membuat hatiku berfikir lebih bijaksana dalam menghadapi apapun yang terjadi di
kehidupanku. Setidaknya, seperti kata ayah, aku harus percaya bahwa tidak ada
satu hal kecilpun di dunia ini yang terjadi jika bukan karena Allah yang
menentukan bahwa hal tersebut adalah sebaik-baik takdir yang harus dihadapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir di blog aku dan membaca tulisan-tulisanku......Silakan tinggalkan jejak kamu di kotak komentar di bawah ini ya..........
*Salam Blogger :-)