Kamis, 23 Februari 2017

Kenangan Bersama Ayah (Part 1)



Aku ingat sekali saat-saat itu. Aku baru saja menyelesaikan Ujian Nasional SMK Akuntansi. Sorak sorai menyambut kelulusan sekolah, sudah terasa. Perpisahan dengan teman-teman di sekolah beserta kenangannya terasa sudah di depan mata.

Bukan, aku bukan ingin membahas mengenai kenangan seragam sekolah lagi kali ini. Melainkan, ini tentang mimpiku setelah lulus SMK. Di tulisan sebelumnya, aku bercerita tentang bagaimana aku meyakinkan ibu untuk membolehkan aku masuk sekolah SMA setelah aku lulus dari SMP. Kali ini, aku ingin bercerita tentang bagaimana aku berjuang untuk masuk kuliah. Dan kisah ini, tentang ayah. Tentang kenangan yang aku lalui bersama ayah di suatu hari yang indah.

Pagi itu aku terbangun dengan penuh semangat. Beberapa waktu yang lalu, sekitar sebulan sebelumnya aku telah mendaftarkan diri untuk mengikuti ujian SENAMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), aku dapat kursi test ujian di SMA 1 Cikini. Karena aku belum pernah pergi ke daerah tersebut, maka pagi itu aku berangkat dari Tangerang bersama ayah menggunakan kereta api menuju Jakarta. Itu pengalaman pertamaku naik kereta api, hingga sekarang aku masih ingat betapa gugupnya saat pertama kali kulangkahkan kaki untuk naik ke gerbong kereta.

Di sepanjang perjalanan, ayah bercerita tentang kehidupannya sebelum menikah. Ayah pernah hidup serabutan di Jakarta setelah pergi merantau dari kota kelahirannya, Surabaya.

“Dulu ayah tinggal di daerah ini, Na. Tapi, sekarang daerah ini sudah bagus. Dulu masih berupa lahan-lahan kosong dan masih banyak rumah-rumah susun yang kumuh. Sekarang sudah lebih baik, meski bapak yakin beberapa tahun ke depan juga pasti akan semakin baik lagi dari sekarang.” Ayah memulai ceritanya saat kereta berhenti di stasiun Palmerah.

Aku mendengar sambil sesekali bertanya penasaran.

“Ayah di sini tinggal dengan siapa?”
“Ya, dengan siapa saja. Ayah merantau dari Surabaya ke Jakarta sendirian. Awalnya tidak mengenal satu orangpun di sini. Tapi, Allah mengirimkan orang-orang baik yang menolong Ayah sampai akhirnya Ayah punya banyak teman yang sudah seperti saudara bagi ayah.”
“Waktu itu memangnya kenapa ayah memutuskan pergi merantau? Tidak tinggal di Surabaya saja dengan kakek dan nenek.”

Kereta api yang kami tumpangi telah tiba di stasiun Tanah Abang, ayah mengajakku bersiap untuk turun. Setelah ini, kami transit untuk naik kereta jurusan Manggarai lalu kemudian mencari Kopaja jurusan Cikini untuk sampai di tempat test ujian SENAMPTN yang aku ikuti.

“Apa tujuanmu ingin kuliah kalau ayah boleh tahu, Na?”

Pertanyaan itu tiba-tiba saja diberikan padaku. Berbeda dengan menjawab pertanyaan tentang siapa pencipta lagu indonesia raya, rasanya pertanyaan ini sulit sekali aku jawab.

“Aku cuma ingin jadi orang yang bermanfaat, dan salah satu manfaat itu bisa kita dapat kalau kita tidak berhenti belajar, Pak. Aku punya mimpi, suatu hari ingin punya sekolah untuk anak-anak yang kurang beruntung. Yang untuk bersekolah saja harus susah payah mencari uang dan membujuk ayah ibunya yang banting tulang mencari rezeki yang kemudian harus dibagi-bagi. Setengahnya untuk makan dan kebutuhan lain, setengahnya untuk sekolah.”

Ayah menatapku dalam.
“Aku ingin jadi guru, Pak.” Kataku saat itu.

Cita-cita terbesarku sejak duduk di bangku sekolah SMP adalah ingin menjadi guru. Setingkat kemudian di SMA aku mulai berfikir untuk ingin menjadi Akuntan, membayangkan duduk di ruangan sebuah kantor akuntan dengan laptop dan kesibukan di tangan, sangat mebggiurkan kala itu baru di akhir-akhir masa sekolah seperti saat mengikuti test-test masuk kuliah inilah aku mulai kembali ingin menjadi seorang guru yang nantinya merangkap juga sebagai seorang penulis. Tapi, fokusku saat ini adalah aku ingin menjadi guru.

“Bagus. Ayah dukung kamu, Na. Semoga kelak mimpimu akan terwujud. Ayah akan bantu dan temani kamu semampu ayah, ya.”

Aku tersenyum dan mengangguk yakin.

“Hidup itu bukan sekedar tentang mimpi, Na. Kamu harus ingat, ada kegagalan di dalamnya, ada kenyataan pahit yang bisa saha terjadi dan harus selalu siap kau terima dengan hati yang lapang.”
Aku menoleh pada ayah, kalimat itu mengena sekali di hatiku hingga aku terdiam dalam waktu yang cukup lama.

“Bagaimana caranya supaya aku punya hati yang lapang menerima kegagalan yang mungkin saja terjadi padaku itu, ayah?”

Ayah merangkul pundakku seraya menatapku lamat-lamat.
“Ikhlas, Na. Ikhlaslah dengan apapun ketentuan yang Allah berikan. Selalulah percaya bahwa Allah punya takdir terbaik untuk setiap hambaNya tanpa pilih kasih.”

Kereta yang aku dan ayah naiki, telah tiba di stasiun Manggarai. Kami bersiap turun dan menuju pintu keluar stasiun untuk mencari kopaja yang akan mengantarkan kami ke tempat tujuan akhir yaitu SMA 1 Cikini tempat di mana aku akan berupaya mencapai mimpi.

Hari itu, adalah kenangan terbaik yang aku miliki. Kenangan yang akan selalu aku ingat sampai kapanpun bahkan hingga kini ayah telah pergi. Setiap kali aku punya mimpi, aku selalu ingat nasehat ayah tentang teori kegagalan dan ikhlas ini. Meski semuanya tak semudah dikatakan, tapi nasehat itu selalu bisa membuat hatiku berfikir lebih bijaksana dalam menghadapi apapun yang terjadi di kehidupanku. Setidaknya, seperti kata ayah, aku harus percaya bahwa tidak ada satu hal kecilpun di dunia ini yang terjadi jika bukan karena Allah yang menentukan bahwa hal tersebut adalah sebaik-baik takdir yang harus dihadapi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah mampir di blog aku dan membaca tulisan-tulisanku......Silakan tinggalkan jejak kamu di kotak komentar di bawah ini ya..........

*Salam Blogger :-)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...