Sabtu, 25 Februari 2017

Kenangan Bersama Ayah (Part 2)

“Ayah, aku dapat peringkat sepuluh.”

Aku berteriak lantang seraya berlari-lari menghampiri ayah yang sedang duduk di teras rumah siang hari itu. Sambil tersengal, aku menyodorkan buku rapot yang baru saja kuterima dari guruku di sekolah. Aku memperhatikan ayah yang mulai membuka halaman buku rapot tersebut. Rasa bangga dan bahagiaku tak bisa kusembunyikan, sementara ayah hanya menatap datar.

“Yaah, peringkat sepuluh saja kok bangga.”

Deg. Aku merasa seperti salah mendengar, tapi jelas di telingaku apa yang baru saja ayah katakan sebagai komentar dari nilai rapotku.

“Tapi kan ini sepuluh besar, yah. Dari empat puluh siswa dan aku sebelumnya tidak dapat peringkat.

“Ayah baru akan bangga jika kamu bisa dapat peringkat satu.” Sembari mengembalikan buku rapot kepadaku, ayah berujar kemudian berlalu.

Aku tertegun. Ada rasa sedih yang menjalari sendi-sendi hatiku. Aku hampir saja menangis jika ibu tidak mendatangiku dengan senyumnya yang menenangkan.


“Tidak apa-apa. Jangan sedih, Nak. Belajar lebih giat lagi, ya.” Dengan senyumnya, ibu menyemangatiku.

Episode kehidupan ini tak pernah sekalipun kulupakan. Sejak saat itu, di usia yang baru menjelang 9 tahun, dengan jiwa kelas tiga SD, aku bertekad untuk jadi yang terbaik. Belajar sekeras mungkin untuk membuktikan pada ayah bahwa aku bisa mencapai peringkat satu.

Saat itu, yang aku fikirkan hanya bagaimana aku bisa mendapat peringkat satu supaya ayah bangga dan tersenyum menatap rapotku. Aku tak pernah berfikir apa esensinya dari nilai rapot tersebut. 

Meski hingga kelas enam SD saat kelulusan, yang mampu aku raih hanya peringkat enam. “Tak apa, aku masih punya kesempatan di SMP.” Ujarku pada diri sendiri untuk menyemangati.

Sampai hingga suatu hari, saat pembagian rapot pertama di jenjang SMP aku berhasil mendapat peringkat satu. Aku menunjukkan pada ayah, kali ini ayah pasti akan memelukku bangga dan tersenyum.

Saat ayah melihat rapotku, ayah tersenyum. Tapi, ayah tidak berkata apa-apa selain, “Jangan mudah merasa puas, coba kita lihat sejauh mana kamu akan bertahan dengan peringkat itu.”

Sedih? Ya, tapi sedihnya tidak sesedih saat aku kelas tiga SD. Aku kembali tidak menyerah. Aku akan buktikan pada ayah bahwa aku bisa mempertahankan peringkat ini.

Singkat cerita, hingga dua tahun lamanya yaitu saat aku duduk di kelas tiga SMP, aku selalu menduduki peringkat satu. Ada rasa puas yang menyelinap dalam diriku, peringkat ini aku dapat dengan belajar sungguh-sungguh dan tekun. Seringkali aku mengerjakan tugas hingga malam hari, menghafal materi pelajaran sekolah yang aku dapat dari guru. Selain untuk mempertahankan peringkat, aku juga mempertahankan beasiswaku.

Sampai suatu hari, saat pembagian rapot pertama di kelas tiga, nilai rapotku turun. Peringkat dua.
Aku takut-takut ingin menunjukkan rapotku pada ayah. Aku ingat apa yang ayah katakan kemarin-kemarin tentang mempertahankan nilai rapot. Apa kata ayah nanti kalau tahu sekarang peringkatku turun? Itu saja yang ada dalam benakku.

Hingga beberapa hari kemudian, aku sedang duduk membaca buku di ruang tamu saat ayah menghampiriku.

“Jadi, siapa yang merebut peringkat satu kebanggaanmu itu, Na?” Ayah bertanya setengah tertawa.

Aku antara sebal dan berusaha untuk tegar, berusaha tersenyum.
“Tak apa, ayah. Cuma peringkat aja kok. Ilmunya kan tetap bermanfaat buat aku. Yang penting aku sudah berusaha belajar dengan tekun dan jujur dalam menjawab soal-soal ujian.” Kalimat ini asal saja keluar dari bibirku. Sebentuk pembelaan dan hiburan supaya ayah tidak menangkap rasa sedih dan kecewa di hatiku.

“Nah, gitu dong. Ini baru anak kebanggaan ayah. Ayah percaya, lambat laun kamu akan mengerti tentang teori sederhana ini. Bahwa tak selamanya, segala jerih payah kita dibuktikan dengan nilai. Apa artinya nilai tertinggi jika tidak ada pemahaman baik yang bisa kau ambil darinya.”

Sejujurnya aku sendiri tak menyangka atas apa yang aku katakan pada ayah, dan lebih tak menyangka lagi dengan perkataan ayah selanjutnya. Jadi, ayah bangga nilaiku turun? Setelah sekian lama aku belajar dengan tekun demi mendapatkan peringkat satu yang kuharap akan membuat ayah bangga, justru hal tersebut aku dapatkan saat peringkatku turun? Aku sungguh tak mengerti jika saja kemudian ayah tidak mengisahkan sebuah kisah yang akhirnya membuatku mengangguk paham tentang yang ayah katakan sebagai teori sederhana ini. Teori sederhana yang maknanya tidak sesederhana itu. Teori yang hingga saat ini kuyakini sebagai pegangan hidup di manapun aku menjalani aktivitasku sebagai manusia yang sejak lahir ditakdirkan untuk berkompetisi.

Kisahnya akan aku tuliskan di catatan bersambung Kenangan Bersama Ayah Part 3 besok hari. 

2 komentar:

  1. Kereeen.... Ditunggu part 3 nya... Salam kenal dari saya fighter squad 8....

    BalasHapus
  2. Hai, Kak Ibnu Basyier. Terima kasih banyak sudah mampir ke blog saya. :)

    BalasHapus

Terimakasih sudah mampir di blog aku dan membaca tulisan-tulisanku......Silakan tinggalkan jejak kamu di kotak komentar di bawah ini ya..........

*Salam Blogger :-)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...