“Ayah, aku dapat peringkat sepuluh.”
Aku berteriak lantang seraya berlari-lari menghampiri ayah
yang sedang duduk di teras rumah siang hari itu. Sambil tersengal, aku
menyodorkan buku rapot yang baru saja kuterima dari guruku di sekolah. Aku memperhatikan
ayah yang mulai membuka halaman buku rapot tersebut. Rasa bangga dan bahagiaku
tak bisa kusembunyikan, sementara ayah hanya menatap datar.
“Yaah, peringkat sepuluh saja kok bangga.”
Deg. Aku merasa seperti salah mendengar, tapi jelas di
telingaku apa yang baru saja ayah katakan sebagai komentar dari nilai rapotku.
“Tapi kan ini sepuluh besar, yah. Dari empat puluh siswa dan
aku sebelumnya tidak dapat peringkat.
“Ayah baru akan bangga jika kamu bisa dapat peringkat satu.”
Sembari mengembalikan buku rapot kepadaku, ayah berujar kemudian berlalu.
Aku tertegun. Ada rasa sedih yang menjalari sendi-sendi
hatiku. Aku hampir saja menangis jika ibu tidak mendatangiku dengan senyumnya
yang menenangkan.
“Tidak apa-apa. Jangan sedih,
Nak. Belajar lebih giat lagi, ya.” Dengan senyumnya, ibu menyemangatiku.
Episode kehidupan ini tak
pernah sekalipun kulupakan. Sejak saat itu, di usia yang baru menjelang 9
tahun, dengan jiwa kelas tiga SD, aku bertekad untuk jadi yang terbaik. Belajar
sekeras mungkin untuk membuktikan pada ayah bahwa aku bisa mencapai peringkat
satu.
Saat itu, yang aku fikirkan
hanya bagaimana aku bisa mendapat peringkat satu supaya ayah bangga dan
tersenyum menatap rapotku. Aku tak pernah berfikir apa esensinya dari nilai
rapot tersebut.
Meski hingga kelas enam SD saat kelulusan, yang mampu aku raih
hanya peringkat enam. “Tak apa, aku masih punya kesempatan di SMP.” Ujarku pada
diri sendiri untuk menyemangati.
Sampai hingga suatu hari, saat
pembagian rapot pertama di jenjang SMP aku berhasil mendapat peringkat satu. Aku
menunjukkan pada ayah, kali ini ayah pasti akan memelukku bangga dan tersenyum.
Saat ayah melihat rapotku, ayah
tersenyum. Tapi, ayah tidak berkata apa-apa selain, “Jangan mudah merasa puas,
coba kita lihat sejauh mana kamu akan bertahan dengan peringkat itu.”
Sedih? Ya, tapi sedihnya tidak
sesedih saat aku kelas tiga SD. Aku kembali tidak menyerah. Aku akan buktikan
pada ayah bahwa aku bisa mempertahankan peringkat ini.
Singkat cerita, hingga dua
tahun lamanya yaitu saat aku duduk di kelas tiga SMP, aku selalu menduduki
peringkat satu. Ada rasa puas yang menyelinap dalam diriku, peringkat ini aku
dapat dengan belajar sungguh-sungguh dan tekun. Seringkali aku mengerjakan tugas hingga
malam hari, menghafal materi pelajaran sekolah yang aku dapat dari guru. Selain
untuk mempertahankan peringkat, aku juga mempertahankan beasiswaku.
Sampai suatu hari, saat
pembagian rapot pertama di kelas tiga, nilai rapotku turun. Peringkat dua.
Aku takut-takut ingin
menunjukkan rapotku pada ayah. Aku ingat apa yang ayah katakan kemarin-kemarin
tentang mempertahankan nilai rapot. Apa kata ayah nanti kalau tahu sekarang
peringkatku turun? Itu saja yang ada dalam benakku.
Hingga beberapa hari kemudian,
aku sedang duduk membaca buku di ruang tamu saat ayah menghampiriku.
“Jadi, siapa yang merebut
peringkat satu kebanggaanmu itu, Na?” Ayah bertanya setengah tertawa.
Aku antara sebal dan berusaha untuk tegar,
berusaha tersenyum.
“Tak apa, ayah. Cuma peringkat
aja kok. Ilmunya kan tetap bermanfaat buat aku. Yang penting aku sudah berusaha
belajar dengan tekun dan jujur dalam menjawab soal-soal ujian.” Kalimat ini
asal saja keluar dari bibirku. Sebentuk pembelaan dan hiburan supaya ayah tidak
menangkap rasa sedih dan kecewa di hatiku.
“Nah, gitu dong. Ini baru anak
kebanggaan ayah. Ayah percaya, lambat laun kamu akan mengerti tentang teori
sederhana ini. Bahwa tak selamanya, segala jerih payah kita dibuktikan dengan
nilai. Apa artinya nilai tertinggi jika tidak ada pemahaman baik yang bisa kau
ambil darinya.”
Sejujurnya aku sendiri tak menyangka atas apa yang aku katakan pada ayah, dan lebih tak menyangka lagi
dengan perkataan ayah selanjutnya. Jadi, ayah bangga nilaiku turun? Setelah sekian
lama aku belajar dengan tekun demi mendapatkan peringkat satu yang kuharap akan
membuat ayah bangga, justru hal tersebut aku dapatkan saat peringkatku turun? Aku
sungguh tak mengerti jika saja kemudian ayah tidak mengisahkan sebuah kisah
yang akhirnya membuatku mengangguk paham tentang yang ayah katakan sebagai
teori sederhana ini. Teori sederhana yang maknanya tidak sesederhana itu. Teori
yang hingga saat ini kuyakini sebagai pegangan hidup di manapun aku menjalani
aktivitasku sebagai manusia yang sejak lahir ditakdirkan untuk berkompetisi.
Kisahnya akan aku tuliskan di
catatan bersambung Kenangan Bersama Ayah Part 3 besok hari.
Kereeen.... Ditunggu part 3 nya... Salam kenal dari saya fighter squad 8....
BalasHapusHai, Kak Ibnu Basyier. Terima kasih banyak sudah mampir ke blog saya. :)
BalasHapus