Rintik hujan terdengar syahdu di telinga. Gadis itu, Satira
Saraswati namanya, asyik duduk di depan jendela kamar sambil memadukan suara
hujan di luar dengan suara merdu Adhitya Sofyan yang menyenandung lembut lewat
radio kesayangannya. Sesekali bibirnya ikut bersenandung mengikuti irama lagu,
sementara pandangannya sampai pada sebuah bingkai foto yang ia letakkan di atas
meja belajar bersama tumpukan buku-buku Accounting miliknya.
Di sana terlihat dua sosok
manusia dengan senyum yang menenangkan dan bahagia. Satira dan Elang. Yap,
Satira dan lelaki yang sangat ia cintai. Satira teringat masa dimana gambar itu
diambil. Kala itu Satira dan Elang sedang menikmati liburan Idul fitri bersama,
hampir setahun yang lalu. Masih terasa hari-hari bahagia itu, dalam hati Satira
berdoa semoga masa itu bisa terjadi kembali. Meskipun ia sadar betul, sampai
hari ini dimana idul fitri terhitung hanya tinggal menunggu dua minggu kedepan,
ia tak melihat adanya harapan bahwa ia dan Elang masih akan melewatinya
bersama.
.......Aku selalu bernyanyi
Lagu yang engkau ciptakan
Kau
nyanyikan............
Satira tersadar dari lamunannya ketika mendengar nada dering
dari blackberry mobilenya. Sedetik sebelum ia mengangkat panggilan tersebut,
hatinya berbisik. Itu lagu favorit kita, Elang. Masihkan kau ingat?
“Assalamu’alaikum, sayang..
“Wa’alaikumusalam, Satira. Lagi apa? aku ganggu kamu gak?”
Suara Cica diseberang sana.
“Ngga kok , Aku lagi dikamar aja. Disini hujan, kamu pasti
tahu ritualku ketika hujan”. Ujarku diiringi tawa.
“Owalah, pantesan agak lama angkat telponnya. Sudah sejauh
mana itu ngelamunnya” kata Cica menggoda.
“Bisa aja kamu. Gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah, lancar. Satira, ini sudah dua minggu
menjelang lebaran, kapan kamu pulang? katanya kangen sama aku..” Cica merayu
dengan manja.
“Aku belum tau Ca, jauh di dalam hati aku ingin pulang supaya
bisa ketemu sama kamu dan teman-teman yang lain, lagi pula aku juga suntuk
di jakarta. Tapiii...”
“Ngga pake tapi-tapi deh, Satira. Aku tunggu pokoknya kamu
pulang”. Sanggah Cica.
“Iya, insyaallah. Will see yaa. Aku usahakan.”
“Oke. Eh, aku dipanggil ibu deh kayaknya. Nanti disambung
lagi yah. Bye satira, Wassalamu’alaikum”.
“Bye , Wa’alaikumusalam”.
Satira mendesah seiring telepon itu berakhir. Sejujurnya ia
sangat merindukan Cica dan ingin sekali bertemu, tapi disisi lain hatinya
ragu. Satira merasa tidak siap. Hatinya belum benar-benar sekuat itu untuk
kembali terkenang dengan segala hal yang sudah jauh ia tinggalkan, segala
kenangan, luka. Menjumpai Cica, sama halnya dengan menjumpai kenangan pahit
yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam.
****
Allahu akbar.. Allahu akbar... Allahu akbar...
Laailaahailallahu Allahu akbar.. Allahuakbar wa lilla ilham.
Gema takbir membahana menghiasi hari nan fitri. Di hari ini
terhembus suasana penuh kedamaian, suasana haru. Hari dimana manusia terasa
seperti kembali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Peluk hangat tersebar
dimana-mana, energi positif yang timbul dari ketulusan hati yang saling
memaafkan.
“Satira, kamu sama Elang apa kabar?” tanya Cica seraya pelan
menyentuh lengan Satira.
Satira menunduk menatap ujung kakinya yang di ayun-ayunkan,
iseng. Satira sudah tahu, pasti Cica akan menanyakan ini cepat atau lambat.
“Elang sudah bahagia dengan pilihannya, Ca.
Diiringi senyumnya yang kelu, Satira tulus mengatakan itu.
Itu adalah sebait doa yang selalu ia selipkan setiap kali diri dan hatinya
tertunduk menghampiri Rabb pemilik jiwanya dalam sujud panjang di sepertiga
malam, pun disetiap helaan nafasnya. Satira selalu berdoa semoga Elangnya kini
telah bahagia dengan pilihan hidup yang diambilnya, meninggalkan Satira dan
puing kenangan yang pernah ada.
"Apa kau yakin Elang bahagia, Satiira?" Cica
bertanya seolah jawaban yang terlontar dari bibir Satira itu hanya penghibur
hati semata.
"Setidaknya, Dia bisa melanjutkan hidupnya dengan
sangat baik, Ca"
"Lalu bagaimana dengan kamu, Satira?"
"Hahaha...memangnya aku kenapa Ca? Satira menatap
lembut sahabatnya itu. "Cica sahabatku tersayang, kamu lihat Aku! I'm
fine, I was move on Ca, aku udah ngga lagi memikirkan hubungan aku dan Elang
yang memang sudah berakhir. Aku udah rela dia pergi dengan pilihan hidupnya,
Ca.
Sampai saat ini memang Aku belum bisa menghilangkan dia dari hatiku, tapi aku juga ngga punya hak untuk memaksakan perasaanku berbalas, Ca. Biar bagaimanapun, hubungan kami udah berakhir sejak satu tahun yang lalu. Jadi, semua sudah selesai Ca. Tinggal aku yang memang harus sepenuhnya melupakan dia."
Sampai saat ini memang Aku belum bisa menghilangkan dia dari hatiku, tapi aku juga ngga punya hak untuk memaksakan perasaanku berbalas, Ca. Biar bagaimanapun, hubungan kami udah berakhir sejak satu tahun yang lalu. Jadi, semua sudah selesai Ca. Tinggal aku yang memang harus sepenuhnya melupakan dia."
"Aku dukung kalau begitu, aku yakin dia bukan laki-laki
yang baik buat kamu, Satira".
"hehehe..yaiyalah. pangeranku pasti sudah Allah
siapkan, Ca. cuma belum saatnya aja"
Satira tersenyum-senyum sendiri sambil lamunannya
mengawang-awang membayangkan lelaki seperti apa yang Allah persiapkan untuknya
dan bagaimana moment special itu akan tercipta.
"Heyyy...ngga usah langsung 'ngayal ketinggian sekarang
juga kalii non..senyum-senyum sendiri gitu yang ada aku takut kamu makin ngga
waras niih." Cica malah menggoda Satira dan berhasil membuatnya salah
tingkah.
"Hehehe...ngga ngayal kok, Ca. Cuma jadi ngga
sabar ajaa..."
"Semua akan indah pada waktunya, sayang. Jodoh itu ga
akan seindah ini kalau ngga di rahasiakan. Allah menguji kita untuk sabar dan
tawakkal menanti jodoh terbaik buat kita. sambil kita berbenah menyiapkan diri.
‘Kan kata Allah, 'Jodohmu adalah sebaik dirimu'."
"Siiipppp bu Guruuuu...". Satira
mengangguk-anggukan kepala tanda setuju dengan sahabatnya itu. Urusan ini
memang Cica jauh lebih bijak dan pandai, itulah kenapa Satira tak pernah merasa
sia-sia jika harus menjadikan Cica satu pendengar sejati dari sekian
sahabatnya. Satira merasa sangat beruntung Cica selalu siap sedia mendengar
segala keluhan hatinya.
TOK...TOK..TOK..
"Eh Ca, itu pasti Pak Tole. Yuk kesana! Aku laper
banget niiih..makan bakso boleh juga kayaknya".
"Hayukkk,, tapi kamu yang traktir yaaa" Jawab
Cica, nyengir.
"Hahaha...maunyaaa"
Dua gadis sebaya itupun berlalu mengejar tukang bakso
langganan mereka sejak mereka remaja. mereka menyantap makan malam sederhana
itu sambil berbincang ringan sebelum berpisah masuk ke rumah masing-masing.
***
Malam telah beranjak meninggalkan petang hari. Sunyi sepi
kembali menyelimuti malam dengan segala keheningannya, hanya terdengar suara
desau angin dan riuh jangkrik bersahutan. Satira belum juga terlelap, satu per
satu wajah orang-orang yang disayanginya menjelma. Entah kenapa ada perasaan
yang ganjil sekali mengganggu Satira malam itu. bukan, bukan karena
percakapanya dengan Cica mengenai Elang tadi yang mengganggunya. Satira pun
tidak mengerti, ini seperti firasat tentang kehilangan. Satira tiba-tiba saja
merasa takut kehilangan orang-orang yang disayanginya. Ibu, Ayah, Nenek,
Adik-adiknya, Cica, dan...Elang.
Jantungnya berdetak lebih cepat, air matanya tiba-tiba
menetes.
"Ada apa ini, Ya Allah ?"Lirih Satira
berbisik.
Satira bangkit menuju bagian belakang rumahnya. Seisi rumah
sudah terlelap. Selama berlibur di tanah kelahirannya ini, Satira tinggal
bersama Uwak (kakak dari ibu) dan sepupu-sepupu juga Nenek Satira yang sudah
berusia 80 tahun. Satira melangkahkan kaki ke kamar mandi yang berada di
belakang rumah untuk berwudhu, ia berniat mendirikan shalat malam. Semoga doa
bisa membuat hatinya lebih tenang dan tak ada lagi firasat-firasat buruk yang
mengganggunya.
Suara adzan subuh dari mushola desa terdengar syahdu seolah
telah menjadi ciri khas pengawal rutinitas pagi menyambut sang fajar
menyingsing. Satira terbangun dari tidurnya ketika mendengar senandung shalawat
yang di lantunkan sang imam mushola sebagai panggilan kepada jamaah agar segera
datang untuk melakukan shalat berjamaah. Satira bergegas bangun untuk mengambil
air wudhu kemudian menuju mushola untuk mengikuti shalat berjamaah.
Dingin
udara pagi tak membuat gentar warga desa untuk berduyun ke mushola kecil itu,
meski dengan penerangan lampu yang seadanya namun mushola tetap ramai dan shaf
terisi penuh hingga lebih dari separuh ruangan mushola yang tidak terlalu luas
tersebut. Ini salah satu kegiatan yang tak pernah terlewatkan oleh Satira jika
sedang berlibur di desa.
Entah mengapa ada kerinduan menyusup ke jiwanya akan suasana berjamaah di mushola seperti ini jika sehari saja melewatkannya. Ia senang bertemu dengan orang-orang tua yang sudah renta namun masih menyempatkan diri dengan penuh semangat untuk datang ke mushola melakukan shalat berjamaah dengan khusyu'.
Entah mengapa ada kerinduan menyusup ke jiwanya akan suasana berjamaah di mushola seperti ini jika sehari saja melewatkannya. Ia senang bertemu dengan orang-orang tua yang sudah renta namun masih menyempatkan diri dengan penuh semangat untuk datang ke mushola melakukan shalat berjamaah dengan khusyu'.
Satira melihat jiwa-jiwa yang patuh pada titah Tuhan penyeru
alam, meski dengan fisik yang sudah tak lagi muda namun semangat ibadahnya
sungguh membuat malu para pemuda yang mendengar adzan subuh justru menarik
lebih rapat selimutnya dan tenggelam dalam buaian mimpi tanpa peduli. Meski
tidak semua pemuda seperti itu, dan untuk itulah Satira selalu tak merasa berat
untuk melangkahkan kaki berjamaah, ia selalu berusaha mengingatkan diri
sendiri bahwa shalat berjamaah adalah satu dari sekian bentuk ibadah yang mendapat
nilai lebih disisi Allah.
Satira teringat dengan satu Hadist Rasulullah yang
pernah dibacanya bahwa Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, dikatakan
bahwa orang-orang yang melakukan shalat subuh dan ashar berjamaah akan didoakan
oleh malaikat.
"para malaikat berkumpul pada saat shalat subuh lalu para malaikat (yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga subuh)naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, "Bagaimana kalian meninggalkan hamba-Ku?", mereka menjawab : kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat."
"para malaikat berkumpul pada saat shalat subuh lalu para malaikat (yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga subuh)naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, "Bagaimana kalian meninggalkan hamba-Ku?", mereka menjawab : kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat."
Maka sepatutnyalah kita sebagai manusia yang tak luput dari
kesalahan berusaha mengharap ampunan dari Allah salah satunya dengan shalat
subuh berjamaah, meski berat dilakukan namun tak ada nilainya dengan ampunan
Allah yang secara khusus dipinta oleh malaikat-Nya untuk kita hamba-Nya yang
mau berbondong-bondong meramaikan rumah Allah bersamaan dengan fajar
menyingsing menyambut bumi.
Gema iqamah terdengar lantang, Satira dan seluruh jamaah
mushola Nurul iman takjim bangkit merapatkan barisan untuk bersiap menghadap
Rabb Tuhan semesta alam dengan segala kepasrahan diri dan kecintaan kepada
Illahi Rabbi membawa jiwa yang tunduk khusyu' bercakap dengan-Nya lewat
untaian-untaian doa.
*bersambung
#30DWCJilid5 #day2
*bersambung
#30DWCJilid5 #day2
satu pertanyaan. kenapa sepatu, dan diletakan dipojok kiri atas bawah nama blog?
BalasHapus