Bayangan
gadis manis berambut sebahu itu tak bosannya datang di malam-malam panjang, menghiasi
dinding-dinding kamarku dengan senyumnya yang menggoda pelupuk mata. Tinggallah
aku menghabiskan malam dengan guratan-guratan kenangan yang silih berganti
datang tanpa diminta.
Makhluk
apakah yang biasa orang-orang sebut cinta itu? Monster menyeramkan yang
mematikan senyumku perlahan. Bagaimana bisa kubiarkan hati ini lemah dengan
segala tentangnya? Dan bagaimanalah ini, mengapa cinta yang harusnya membawa
kebahagiaan justru kini terasa menyakitkan? Ahh, entahlah, mungkin aku terlalu
mendayu sehingga perasaan sedih saja yang selalu terbawa di setiap penghujung
malam penuh imaji seperti saat ini.
Adit menutup layar laptopnya asal, tak peduli apakah
tulisannya kali ini tersimpan rapi di file dokumen seperti yang selalu ia
lakukan setiap kali selesai menulis.
Baginya, menulis adalah cara yang paling singkat untuk membuang jauh apa
yang sedang bergelayut dalam hati dan fikirannya.
Biasanya, cara itu selalu
bisa mengusir penat dan membuat perasaannya lebih baik, namun kali ini lelah
yang ia rasakan begitu mendera. Entah mengapa jemarinya tak mampu bekerjasama,
bayang-bayang gadis itu tak hanya mengitari ruang kepala dan hatinya, namun mulai
memprovokasi jemarinya untuk tidak mampu berhenti mengeja huruf demi huruf yang
melulu berkisah tentangnya.
Lelaki itu menghempaskan tubuhnya di pembaringan,
memejam dan menghela nafas, menyerah pada alam bawah sadarnya yang menuntut
untuk mengistirahatkan semua indera. Besok adalah hari yang ditunggu olehnya,
ia telah menyiapkan segalanya untuk gadis berambut sebahu kesayangannya.
***
“Adit, kamu mau
ajak aku kemana?” Gadis itu tersenyum manis sekali sembari mengerlingkan mata,
selalu saja ada yang Adit lakukan untuk membuat hatinya berdetak lebih kencang.
“Sebentar lagi kau akan tahu, Nay.” Ujar lelaki itu sambil menggamit lengan
Nayla`
Lelaki itu membawa Nayla ke sebuah taman yang berada
di belakang kampus. Tepat ketika langkah mereka sampai di sebuah bangku yang
terbuat dari kayu di taman tersebut, segerombolan anak kecil datang dengan
rangkaian bunga, kue ulang tahun dan alunan musik riang.
Adit tersenyum seraya berkata, “Selamat ulang tahun,
Nayla”.
Nayla yang tak menyangka akan mendapat kejutan semanis
itu, hanya mampu menutupi rasa terkejutnya dengan raut bahagia yang tak mampu
ia sembunyikan.
“Kau selalu penuh kejutan, Adit”.
Nayla terdiam cukup lama memperhatikan helai demi
helai kelopak bunga yang kini berada di genggamannya. Ia berusaha menata
hatinya yang semakin tak menentu. Ingin rasanya ia melontarkan tanya yang telah
lama bergelayut di fikirannya. Tentang sebuah perasaan yang telah lama ia
simpan rapi di sudut hatinya, perasaan yang semakin lama semakin menuntut
balas.
“Nay..”
“Nay, kamu baik-baik saja?”
“Eh..Iya dit, kenapa?”
“Kamu lho yang kenapa, kok tiba-tiba bengong gitu..”
“Hehehehe, enggak dit. Aku Cuma mikir aja, untuk apa
kamu melakukan semua ini?”
Adit menyernyitkan mata, tak mengerti.
“Maksud aku, kamu selalu punya cara untuk bikin aku
terkesan, bikin aku bahagia.” Nayla salah tingkah, tak tahu apakah kalimat yang
dipilihnya itu tepat untuk saat ini
“Aku enggak tahu. Aku hanya ingin saja melakukan ini
untukmu”. Adit balas tersenyum manis, sedetik kemudian menundukkan pandang kearah
ujung sepatunya yang bergerak-gerak.
“Kita pulang yuk, Nay. Udah sore”
Sejenak Nayla terdiam, ada raut kecewa yang ia
sembunyikan namun ia tetap mencoba tersenyum. Keduanya lalu berjalan
meninggalkan bangku taman yang kini kosong. Sekosong dua hati yang beberapa
menit lalu mendudukinya.
***
Suara dering telepon yang berisik di pagi itu
membangunkan Nayla dari tidur, membuyarkan mimpi yang tak ingin dilepasnya
begitu saja. Seolah malas untuk meninggalkan tempat tidurnya, Nayla justru
semakin memeluk erat boneka panda di dekapannya. Boneka itu pemberian Adit
beberapa hari lalu tepat di ulang tahunnya. Adit memberikannya ketika
mengantarkan Nayla pulang setelah sukses dengan kejutan karangan bunga dan
alunan musik di bangku taman, hari yang hampir sempurna. Jika saja hari itu
Nayla mendapat jawaban atas perasaan terpendamnya selama ini, tentu
kebahagiaannya menjadi sempurna.
“Nayla sayang, sudah jam berapa ini? Ayo bersiap, kamu
ingat hari ini jadwal kamu mengisi sekolah minggu di Gereja, jangan sampai terlambat
atau murid-muridmu akan berlarian di pelataran ruang ibadah sambil berteriak
dimana kak Nayla”
Suara wanita separuh baya di balik pintu memaksa Nayla
untuk segera mengakhiri drama pagi harinya.
“Iya, Ma. Aku akan siap 30 menit lagi.”
***
Suasana gereja St. Antonius di hari minggu pagi selalu
riuh ramai dengan orang-orang yang datang untuk beribadah. Nayla selalu tak
lupa membawa hati yang riang dan penuh semangat setiap kali menjejakkan kaki di
tempat ibadah ini. Selain untuk mengobati hatinya yang rindu akan Tuhan, Nayla
memiliki aktivitas menarik di setiap minggu pagi setelah menyelesaikan ibadah.
Ia dan beberapa temannya yang terbagung dalam IRGKI (Ikatan Remaja Gereja
Kristen Indonesia) mendedikasikan waktu dan kreativitasnya untuk mengajar sekolah
minggu bagi anak-anak yang datang ke gereja tersebut bersama orang tuanya.
Nayla yang memang kuliah di jurusan pendidikan anak usia dini, tentu selalu
dapat membuat anak-anak senang dengan kegiatan-kegiatan yang dirancangnya untuk
murid sekolah minggu tersebut. Nayla selalu bisa menarik hati anak-anak dengan
sifatnya yang riang dan ceria.
Setelah para orang tua selesai beribadah menjelang
tengah hari, Nayla dan teman-temannya dari IRGKI pun menutup aktivitas sekolah
minggu dengan membagikan hasil prakarya anak-anak di hari itu. Setelah
anak-anak pulang bersama orang tuanya, Nayla biasanya bergegas meninggalkan
gereja atau melanjutkan aktivitasnya yang lain entah itu pergi bersama
teman-temannya atau pulang kerumah bersama keluarganya. Namun hari ini, Nayla
merasa ingin berlama-lama berada di sana.
Nayla melangkahkan kakinya menuju ruang peribadatan,
ia ingin sejenak duduk sambil menangkupkan kedua tangannya ke hadapan Tuhan
seraya berdoa. Berharap segala kegundahan yang mengisi relung hatinya selama
ini menemukan kedamaian.
Tak berapa lama Nayla tunduk dalam doa, air matanya
tiba-tba mengalir begitu saja. Sesak hati yang dipendamnya seolah meluap begitu
saja.
Lirih Nayla berdoa kepada Tuhan yang diyakininya,
“Tuhan, Kasihi aku. Aku tak mampu mengeja semua takdirmu akan perasaan ini.
Mengapa kau ciptakan perasaan ini, jikalau akhirnya tak tahu akan di kemanakan.
Tidakkah cinta itu suci? Mengapa ada sekat yang seolah menjadi pemisah antara
cinta ini. Tuhan, Aku harus berdoa kepada siapa lagi selain kepadamu?”
Nayla semakin terisak, menyebut satu nama yang sangat
ia cintai. Ia percaya Tuhan mendengar lirih doa-doanya. Tuhan pun mengenal
lelaki yang selalu ada dalam doa yang ia bisikkan. Nayla hanya mampu
menyerahkan semua rasa yang menderanya kepada Tuhan, harapannya bahwa Adit akan
mengerti dan membalas perasaan cintanya semakin tinggi setiap detiknya. Dengan
perlakuan istimewa yang selalu Adit berikan padanya, Nayla bisa merasakan cinta
yang sama juga tumbuh di hati Lelaki kesayangannya itu. Namun Nayla menyadari,
dua rasa cinta saja tidak cukup bagi mereka yang berada di persimpangan,
terpisah oleh perbedaan.
Gadis berambut sebahu itu menyudahi doanya dengan
senyum penuh kedamaian, setidaknya dengan mencurahkan semua perasaannya kepada
Tuhan yang ia percaya, hatinya terasa lebih damai.
Nayla melangkah menuju halaman gereja tempat mobilnya
terparkir, sebelum pulang ia memutuskan untuk ke toko buku terdekat.
Melihat-lihat tumpukan novel mungkin bisa sedikit menghibur akhir pekannya yang
sendu.
Sebelum menghidupkan mesin xenianya, Nayla mengetikkan
Quote di akun facebook miliknya. Entah kenapa ia ingin mengabadikan sebaris
kata yang tiba-tiba saja melintas di fikirannya beberapa detik yang lalu
selepas doa yang ia senandungkan.
***
Di tempat yang berbeda, di sebuah stasiun kereta antar
kota.
Lelaki itu tergopoh berjalan menuju gerbong kereta
yang tengah beristirahat setelah memberikan kesempatan pada para penumpangnya
untuk shalat maghrib dan makan malam. Adit terlihat lebih segar setelah 2 jam
tertidur di dalam kereta, kurang lebih 2 jam kedepan ia akan sampai di tempat
tujuan. Ia menyiapkan diri untuk tidak tertidur lagi di perjalanan berikutnya,
sehingga ia menyempatkan untuk mandi sebelum shalat tadi supaya tubuhnya lebih
nyaman.
Kursi yang ia duduki berada tepat di sisi jendela
kereta, Adit selalu suka memandang keluar jendela. Di luar sana, hari mulai
terlihat gelap. Matahari telah kembali ke peraduan setelah menyelesaikan
tugasnya menyinari siang yang di gunakan oleh manusia untuk mengupayakan
kehidupan. Sebagai gantinya, syahdu malam datang sebagai selimut pelepas lelah
untuk mempersiapkan esok hari yang lebih baik.
Adit membuka ponselnya, menyiapkan kamera untuk
memotret nuansa langit yang indah dari balik jendela kereta yang di
tumpanginya. Setelah mendapat satu gambar yang menurutnya bagus, ia kemudian
membuka aplikasi facebooknya kemudian memposting foto langit tersebut. Selesai
mengunggah foto, Adit menggerakkan jemarinya menelusuri laman beranda facebook.
Saat itu gerakannya terhenti, lama ia tertegun memperhatikan layar ponselnya.
Berulang ia membaca postingan status yang tanpa sengaja lewat di beranda
facebooknya.
“Jika cara kita berdoa saja tak sama, maka doa itu akan
memiliki muara yang berbeda.
Sementara, muara cinta itu satu.
Dan cinta datang dari Tuhan Yang Satu”.
Sejenak saja, kalimat itu mampu meluluh lantakkan
hatinya. Menyisakan perih di sudut hati. Menoreh sakit di dada sebelah kiri.
Tulisan itu diposting oleh nama yang tak asing lagi.
Cherlita Nayla Estella. Nama yang sangat ia kenal,
terpahat di sudut hatinya yang kini tertoreh oleh tulisan yang baru saja di
bacanya.