”Satira, Elang kayaknya mau kesini
tuh.” Caca tiba-tiba saja heboh, hampir saja gelas yang sedang dipegang oleh
Satira terjatuh karena gerakan tangan Caca yang sedikit menyenggol lengan
Satira. Baru saja Satira ingin protes, sosok Elang sudah ada di hadapannya.
“Saya minta maaf soal tadi pagi, ya.”
Satira berusaha bersikap teduh,
seolah tak terjadi apa-apa.
“Oh, iya. Ngga ada yang harus
dimaafin, kok” Jawabnya acuh.
Elang tersenyum kemudian mengulurkan
tangannya di hadapan Satira.
“Elang. Temannya Seno, yang tadi
pagi ngga sengaja dengerin kamu nyanyi di telepon.”
Satira dapat merasakan pipinya
memerah, entah raut wajahnya seperti apa saat itu. Dia kehabisan ide menjawab
kalimat sapaan yang sedikit menyindir itu.
“Ehm, apa ya maksudnya? Kayaknya kamu
salah orang, deh.” Satira kikuk, meraih tangan Elang dan meletakkan gelas yang
digenggamnya ke tangan Elang kemudian berlalu. Sementara itu, Caca tak tahu
sama sekali apa maksud keduanya. Memilih untuk tersenyum kemudian pergi
menyusul Satira ke dalam rumah.
Tinggallah Elang berdiri tanpa ekspresi,
memandangi gelas kosong yang kini ada di genggaman tangannya.
***
Mengingat masa awal perkenalannya
dengan Elang, membuatnya Satira senyum-senyum sendiri. Sejenak kemudian ada
sesak yang kembali muncul. Tak bisa dipungkiri, meski sudah 7 tahun berlalu
namun seolah baru kemarin ia mengenal sosok Elang, perkenalan yang berujung
tumbuhnya perasaan-perasaan yang membuat keduanya menjadi dekat. Beberapa hari
setelah pernikahan Mas Seno dan Mbak Ita, Satira kembali ke Jakarta. Di hari
sebelum ia berangkat ke Jakarta itulah akhirnya ia berkenalan sungguhan dengan
Elang. Elang yang ramah dan memiliki sikap bersahabat, tak hentinya menyapa
Satira di setiap ada kesempatan hingga akhirnya Satira pun tidak lagi punya
alasan untuk bersikap acuh. Perkenalannya yang diawali dengan kekonyolan
keduanya itu menjadi awal dari obrolan-obrolan singkat yang kini terjalin lewat
pesan singkat di kotak pesan handphonenya masing-masing sejak keduanya sudah
kembali ke rutinitasnya di Jakarta. Tiada hari tanpa ucapan selamat pagi dan
seperti alarm, Elang rutin mengiriminya pesan-pesan mengingatkan makan siang
atau jaga kesehatan.
Kini saat 7 tahun sudah berlalu,
masa-masa itu masih jelas di ingatan Satira. Terlebih jika kenangan itu terus
menerus memunculkan masa-masa selanjutnya saat pertemuan-pertemuan yang sengaja
mereka atur di sela-sela rutinitas, yang pada akhirnya memunculkan kedekatan
bagi mereka. Tak disangka kedekatan itu kemudian menumbuhkan perasaan yang
semakin hari semakin subur hingga akhirnya entah siapa yang mengawalinya, sepasang
manusia itu seolah mengerti bahwa kedekatan mereka istimewa. Pertemuan demi
pertemuan, menjadikan mereka semakin dekat selayaknya sepasang kekasih. Satira
menyayangi Elang dengan segenap jiwanya sejak saat itu, hingga kini setelah 7
tahun semuanya berlalu. Meski hubungan mereka pada akhirnya kandas di tahun
ketiga setelah kedekatan mereka, namun sosok Elang masih sebagai sosok yang
sangat berarti bagi Satira. Hanya saja, ia memendamnya erat seolah segalanya
kini baik-baik saja, meski ada kerinduan mendalam yang ia rasakan sendiri saat
ingatan tentang Elang datang menghantuinya.
Seperti malam ini, Satira duduk di
sisi jendela kamarnya. Sudah dua hari ia di sini, berlibur dan menjenguk Uwak Sari.
7 tahun lalu, di rumah ini ia mengenal Elang. Sepuluh rumah ke sebelah barat dari
rumah Uwak Sari, adalah rumah Elang. Tapi, sejak hari pertama ia tiba di sini,
tak pernah sekalipun ia melihat sosok itu.
Berbagai pertanyaan tentang dimana
Elang? Bagaimana kabarnya? Sibuk apa ia saat ini? Serta berbagai pertanyaan
lainnya yang selama ini hanya bisa ia pendam sendiri. Awalnya ia masih bisa
bersikap tenang dan tidak terlalu memikirkan, namun berita yang ia dengar dari
Uwak Sari pagi tadi sepulang dari pasar, membuat Satira kalang kabut sendiri. Benarkah
Elang akan menikah?
Memikirkan itu, tiba-tiba kesedihan
datang menghampiri Satira. Bagaimana jika benar, Elang akan menikah? Apakah
penantiannya akan menjadi sia-sia? Kemana ia akan membawa perasaannya? Bukankah
ia selama ini berkeyakinan bahwa Elang akan kembali? Ah, naif sekali. Satira
membenak sendiri. Bukankah dengan jelas ia kemarin meyakinkan Caca bahwa ia
baik-baik saja setelah hubungannya dengan Elang kandas? Apakah itu hanya kebohongan-kebohongan
yang seolah dibuat hanya untuk berpura-pura tegar? Sementara kini, saat ada
kemungkinan lain yang terjadi, kemungkinan bahwa Elang sudah punya kehidupan
baru menuju pernikahan, ia hanya bisa sedih sendiri meratapi perasaannya yang
tak bisa dibendung lagi.
Satira berjalan menuju tempat tidur,
rasanya penat bergelut dengan diri sendiri sepanjang hari ini. Ia ingin
terlelap, berharap esok segala perasaan yang membuatnya gusar ini akan sirna. Baru
saja Satira berniat memejamkan mata, handphonenya berbunyi. Dengan masih
berbaring malas, ia meraih handphone yang ia letakkan di atas meja di sisi
tempat tidurnya kemudian membuka pesan singkat yang masuk, dari nomor tak
dikenal.
Satira menatap lamat bunyi pesan
singkat tersebut, tak percaya.
“Ra, aku mau
ketemu kamu. Besok siang, di tempat favorit kita
Aku harap
kamu datang.
Elang.”
Satira bangkit dari tempat tidurnya,
berkali-kali kembali membaca pesan singkat itu. Benarkah ini Elang? Satira menekan
beberapa kali tombol handphonenya kemudian menempelkan benda tersebut ke
telinga. Sedetik kemudian, terdengar nada-nada lagu yang tak asing di
telinganya.
“...Aku
slalu bernyanyi
Lagu yang
engkau ciptakan
Kau
nyanyikan...”
Lagu itu, lagu yang selama ini
menemaninya ketika ia merindukan sosok yang sangat dicintainya bertahun
lamanya. Satira semakin penasaran apakah benar Elang yang mengirimkan sms ini.
“Ra, ini aku. Elang”.
Suara nada sambung di seberang sana
kini berganti dengan suara yang sangat dikenalinya. Suara yang sangat di
rindukannya.
Satira terduduk, seraya mematikan
kembali sambungan telepon tersebut.
Terlalu lama rindu ini terpenjara,
terlalu lama ia berharap dapat mendengar lagi suara yang sangat menjadi suara
kesukaannya itu. Lelaki yang sangat ia tunggu bertahun lamanya. Kini saat suara
itu kembali menyapa pendengarannya, Satira hanya mampu terduduk lesu. Tak bergeming
sedikitpun.
*bersambung
#30DWCJilid5
#Day6